Tidak sedikit
orang-orang yang tidak menjagokan Italia pada Euro kali ini. Permainan yang
cenderung memakai pertahanan yang berlapis-lapis menyebabkan permainan menjadi
membosankan. Ditambah dengan menumpuknya pemain tua di skuad itu, sehingga
mengakibatkan permainan mereka mudah terbaca oleh tim lawan. Sudah jelas
perpaduan antara keduanya mengakibatkan tim ini tidak pantas diunggulkan di
turnamen ini. Belum selesai di sana, bahkan beberapa minggu menjelang Euro pun
sepakbola Italia diganggu dengan masalah Scomessiopoli,
dimana di dalamnya melibatkan banyak orang, termasuk salah satu bek mereka yang
harus dicoret dari skuad karena diduga kuat terlibat aktif dalam kasus ini.
Lengkaplah syarat Italia untuk kehilangan respek dari pendukung lain.
Namun kenyataan berkata
lain. Italia mampu melewati fase grup yang dimana mereka satu grup dengan juara
bertahan, Spanyol, dengan posisi runner-up,
bahkan sampai kepada partai puncak untuk melawan (kembali) Spanyol. Bisa
dibilang bahwa permainan Italia di babak kualifikasi cukup memprihatinkan,
karena mereka memiliki banyak peluang, tapi gagal dikonversi menjadi gol.
Bahkan yang lebih mengenaskan adalah Italia harus lolos dengan bergantung
kepada pertandingan lainnya (Spanyol vs Kroasia). Dimana situasi ini tentu
sangat menegangkan untuk tim Italia.
Akan tetapi yang
menarik atau mendasari tulisan ini bukanlah hasil akhir atau jumlah gol yang
berhasil diciptakan Italia, melainkan strategi yang dipakai Cesare Prandelli.
Pada dua pertandingan
awal mereka, Prandelli memasang De Rosi sebagai bek tengah, yang sejatinya dia
adalah seorang gelandang tengah. Hal ini disebabkan karena Andrea Barzagli
mengalami cedera sesaat sebelum Euro dimulai. Lalu mengapa De Rossi yang
dipilih sebagai penggantinya? Apakah Italia tidak lagi mempunyai seorang bek
tengah? Keputusan ini diambil oleh Prandelli bukan karena tanpa alasan. Ini
diambil karena Prandelli melihat bahwa De Rossi bisa menjadi penghubung antara
lini belakang dengan lini tengah. Ini lah yang dilihat Prandelli tidak ada pada
pemain belakang lainnya. Dan sebagai gantinya, Prandelli memasukkan nama Thiago
Motta ke dalam starting eleven. Ini
“memaksa” Italia untuk memakai formasi 3-5-2. Dengan Bollucci, De Rossi, serta
Chiellini sebagai pemain belakang. Lalu, Pirlo, Motta, Marchisio, Giancherrini,
dan Maggio sebagai pemain tengah. Juga Balotelli dan Cassano dipercaya menjadi
penggedor.
Formasi racikan
Prandelli ini pun dapat dikatakan berjalan ampuh, meski mereka hanya
mendapatkan hasil imbang di dua pertandingan awal. Ampuh yang dimaksud tidak
berbicara pada hasil akhir pertandingan, melainkan permainan Italia. Dengan
formasi ini, Italia kerap terlihat lebih agresif dalam membangun serangan, dan
juga kesigapan dalam bertahan. Ini sungguh berbeda dengan keadaan Italia
sebelum era Prandelli. Risiko yang diambil Prandelli berbuah manis, karena
faktanya De Rossi berhasil tampil memuaskan di posisi barunya tersebut. Bermain
taktis dan tidak kompromi adalah bukti bahwa De Rossi pun handal sebagai pemain
belakang.
Pirlo
sebagai Poros
Akan tetapi formasi dan
strategi Italia bukanlah tanpa cacat. Dapat dilihat kasat mata bahwa serangan
Italia dibangun selalu melalui Pirlo. Pirlo adalah jenderal lapangan tengah tim
yang bertugas untuk membangun serangan dan mengatur ritme pertandingan. Melihat
pentingnya posisi Pirlo bukan berarti pemain tengah Italia tidak memberikan
kontribusi apa-apa. Mereka berkontribusi, akan tetapi serangan Italia tidak
akan sewah yang kita lihat sekarang
jika Pirlo tidak bermain atau dimainkan di posisi lain. Penguasaan bola yang
sangat baik dan umpan jarak jauh nan akurat adalah modal yang dimiliki Pirlo
adalah awal Italia dalam membangun serangan. Kita bisa lihat ketika salah
seorang pemain Italia memegang bola pertama saat hendak melakukan serangan
balik, orang tersebut pasti langsung mencari posisi Pirlo.
Strategi seperti ini
yang bisa berbahaya untuk mereka sendiri. Dengan permainan yang selalu berporos
kepada Pirlo, cepat atau lambat tim lawan pasti bisa membacanya. Namun
demikian, pemain tengah lainnya dan pemain depan Italia pun memiliki pergerakan
(tanpa bola) yang bagus. Saat mereka menyerahkan bola kepada Pirlo, dengan
cepat mereka akan berlari dan mencari tempat guna memecahkan konsentrasi lawan,
sehingga ketika pemain belakang lawan salah mengantisipasi umpan dari Pirlo,
salah satu dari pemain Italia ini bisa merebutnya dan memanfaatkan peluang yang
ada. Contohnya adalah ketika Ramos ceroboh dalam mengontrol bola, bola tersebut
dengan segera direbut oleh Balotelli. Dan situasi ini menciptakan sebuah
peluang yang kemungkinan besar bisa menjadi gol. Mengingat gerakan Cassano yang
berlari dari tengah dan bebas ketika Balotelli berhasil merebut bola dari
Ramos.
Ketidakseimbangan
Lini Tengah
Pirlo yang memiliki
kemampuan hebat seperti itu seakan mendominasi lini tengah Italia. Hal ini
wajar, karena di atas lapangan, secara sadar atau tidak, para pemain tengah
Italia lainnya membiarkan diri mereka hanya berlari mengejar bola dan menjaga
lawan dengan ketat, terutama peran Motta dalam dua pertandingan awal. Selain
hanya sebagai “anjing penjaga”, Motta kerap meninggalkan lubang di posisinya.
Artinya adalah Motta kerap kali meninggalkan posisinya untuk membantu serangan.
Sehingga ketika tim lawan berhasil memotong alur bola, mereka dengan cepat
menyerang Italia dari sisi kiri Italia. Posisi ini lah yang seharusnya
ditempati oleh Motta.
Lalu keberanian
Marchisio dalam melakukan beberapa penetrasi. Sangat terlihat pincang, karena
pada saat Marchisio melakukan penetrasi ke barisan pertahanan lawan, praktis
hanya Pirlo yang membantu dirinya. Hasilnya, bola dengan mudah dipotong lawan.
Bukan hanya itu, kecanggungan Maggio dan Giancherrini dalam menjalankan peran
mereka sebagai gelandang sayap. Ini terlihat sama bila mereka tidak ada dalam
lapangan, karena kedua pemain hampir tidak memberikan pengaruh sepanjang
pertandingan.
Dan keputusan untuk
tidak memainkan mereka pada pertandingan selanjutnya merupakan pilihan tepat
yang dilakukan Prandelli.
Barisan
Belakang yang Disiplin
Para pemain belakang
Italia menunjukkan kekonsistenan mereka dalam menjaga daerah mereka. Kita bisa
lihat saat Italia membangun serangan, semua pemain belakang tidak ada yang
meninggalkan posisi masing-masing. Baik ketika mereka bermain tanpa atau dengan
Barzagli. Dan saya rasa ini adalah salah satu kunci Italia bisa menembus babak
final.
Catenaccio
a la Prandelli
Tentu masih segar dalam
ingatan kita ketika Italia berhasil menundukkan Jerman di babak semi-final.
Italia yang berhasil mengungguli Jerman 2-0 pada babak pertama, mengubah
strategi mereka di babak kedua. Yang pada awalnya mereka memakai 4-4-2, di
babak kedua, mereka memakai 3-5-1-1 dan mengubah menjadi 4-5-1 (bertahan) dan
4-2-3-1 (menyerang) ketika Diamianti dan Di Natale masuk. Alasan Di Natale
dimasukkan adalah karena Di Natale lebih setia pada posisinya, tidak seperti
Balotelli yang sering melebar.
Dengan menarik
Cassano-Balotelli dan memasukkan Diamianti-Di Natale, maka strategi ini pun
siap direalisasikan. Para pemain Jerman terlihat tampak kebingungan untuk
menembus lini tengah Italia. Jarak antara lini tengah dan lini belakang Italia
sangat dekat, inilah alasan mengapa Jerman kesulitan menembus pertahanan
mereka.
Pertahanan seperti ini
tentu sangat jauh jika kita bandingkan dengan cara bertahannya Real Madrid
ataupun Chelsea. Italia masih memakai formasi yang wajar dengan ditempati
pemain yang memang di posisinya. Atau lebih sederhananya, Italia tidak
“memperkosa” seorang striker atau pemain depannya untuk menjadi seorang bek
sayap atau gelandang bertahan. Yang mereka lakukan saat bertahan adalah membuat
lapangan menjadi kecil, dan memaksa pemain lawan hanya melakukan operan dari
satu sisi ke sisi lainnya tanpa tujuan yang pasti. Dan pada saat mereka
menyerang, mereka membuat melebarkan lapangan, dengan cara tiga pemain
gelandang berlari ke sayap dan ke tengah (depan). Di sinilah perbedaan
pertahanan antara pertahanan elegan dengan pertahanan brutal.
Tidak
Akan Sama
Namun strategi ini
sangat rawan bila dipakai Italia ketika mereka berhadapan dengan Spanyol,
karena Spanyol adalah tim yang memiliki banyak gelandang kreatif dan juga
pemain sayap yang mampu melakukan penetrasi sampai batas pertahanan terakhir
lawan. Mereka memiliki Xavi dan Alonso. Sedangkan untuk serangan sayap, mereka
memiliki pemain sekaliber Silva dan Iniesta. Silva dan Iniesta pun sering
mendapatkan bala bantuan dari Alba dan Arbeloa.
Lubang
Kecil
Nah, di sinilah Spanyol
meninggalkan lubang kecil, saat Arbeloa dan Alba membantu serangan. Namun jika
diperhatikan, lubang kecil sebelah kanan Spanyol lah yang kerap menjadi bulan-bulanan
pemain lawan. Tepat! Posisi itu adalah posisi Arbeloa. Kedua bek sayap Spanyol
memang kerap maju untuk membantu serangan, akan tetapi Arbeloa lah yang sering
ceroboh menjaga daerahnya itu. Saya katakan bahwa dia adalah seorang pemain
yang lambat bertahan (ketika sedang membantu serangan) dan tergesa-gesa untuk
tipikal seorang bek sayap. Tapi jangan salah, karena si lambat ini mendapatkan
dukungan dari Pique di belakangnya. Terlalu sering Pique menambal lubang yang
ditinggalkan Arbeloa.
Tutup
lubang, gali lubang. Saya pikir ini pas menggambarkan
pertahanan Spanyol. Karena ketika Pique berusaha untuk menambal lubang si
lambat, secara tak sadar Pique pun sudah meninggalkan lubang yang baru di
sebelah tengah pertahanan Spanyol. Hal ini yang seharusnya bisa menjadi celah
untuk Italia menggenjot Spanyol.
Tentu tidak mudah bagi
Italia untuk memanfaatkan momen yang akan berlangsung sangat cepat itu. Maka
dari itu, Prandelli membutuhkan pemain yang cepat dan lincah di sayap kiri
Italia dan pemain yang kuat dan cerdas di tengah. Menurut penilaian saya, tepat
jika sedikit menggeser posisi Cassano sedikit ke kiri dan membiarkan Balotelli
menjadi target man. Ini tentu bisa
dilakukan bila Italia memakai pola 4-2-3-1, minus Motta. Dan saat skenario
berjalan dengan lancar, Prandelli bisa memakai pola 4-5-1 dengan menarik keluar
Montolivo dan memasukkan Motta, serta Diamanti menggantikan Cassano. Biarkan Balotelli
berkreasi selama pertandingan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar