Tidak diragukan bahwa manusia hidup di suatu dunia
yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang dapat disaksikan,
terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang
beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran
yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak
sama.
Sekarang penulis akan membahas tinjauan pluralisme agama terhadap masalah ini dan mengajukan kritik serta teori dan pandangannya.
Sekarang penulis akan membahas tinjauan pluralisme agama terhadap masalah ini dan mengajukan kritik serta teori dan pandangannya.
Penafsiran yang beragam terhadap kejamakan agama-agama
(Pluralisme Agama).
Kenyataan yang ada, manusia mempunyai bermacam agama dan manusia juga
mempunyai sangat banyak pandangan-pandangan yang bukan agama. Di antara agama-agama
yang ada, manusia dapat membagi ke dalam dua kelompok. Pertama, agama-agama
yang berdasarkan wahyu dan yang kedua adalah agama-agama yang tidak berasal
dari wahyu. Sementara masing-masing dari dua kelompok agama tersebut, terdapat
lagi pandangan-pandangan yang bermacam-macam.
Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan kepada setiap
pemikir adalah bagaimana harus ditafsirkan keragaman pandangan-pandangan
keagamaan dan bukan keagamaan dari satu sisi dan kejamakan agama-agama yang
berbeda dari sisi lain serta juga banyaknya pandangan dalam setiap agama?
Sejauh mana saham semua agama-agama ini dalam hakikat dan kebenaran? Apakah
semua agama benar ataukah hanya ada satu agama yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan ini telah mendapatkan jawaban
yang berbeda-beda, di antaranya dari inklusivisme, eksklusivisme, dan
pluralisme. Pluralisme agama merupakan salah satu jawaban dan tanggapan
terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pengertian Secara Bahasa dan Istilah
dari Pluralisme
Pluralisme mempunyai pengertian secara bahasa dan
istilah yang beraneka-macam:
a) Pengertian secara bahasa: Dalam kamus Oxford, pluralisme
ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
1. Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh
kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini
mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya
menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
2. Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda
dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini
mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.
b) Pengertian secara istilah: Pluralisme secara istilah minimal memiliki
empat macam penggunaan:
Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna
toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi
pertikaian dan peperangan.
Dalam definisi ini, keragaman dan kejamakan diterima
sebagai suatu realitas kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari
agama dan pandangan, dalam kenyataan, mereka memandang bahwa hanya diri mereka
yang benar dan ahli selamat, dalam bergaul dan bermasyarakat dengan para
pengikut agama dan mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling
menghormati.
Kebanyakkan umat beragama menerima pengertian
pluralisme ini. Sebagaimana pluralisme yang terjadi di antara dua firkah dalam
satu mazhab, antara dua mazhab dalam satu agama, dan antara dua agama Ilahi
serta antara agama-agama non-wahyu. Manusia memiliki banyak ayat-ayat yang
berkenaan bentuk pluralisme ini.
Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua
agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda.
Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada
arasy pemahaman agama. Sekelompok orang memahami perkara Ilahi dalam satu
bentuk, maka mereka menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam bentuk
lain, maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan ada pun orang-orang Muslim
dan pengikut-pengikut agama lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk
yang berbeda dengan kedua pengikut agama seperti yang di atas.
Setiap nabi mempersepsi dan menjelaskan hakekat dalam
suatu bentuk tertentu. Karena itu, satu berkata dan berpandangan tauhid dan
lainnya berkata dan berpandangan trinitas. Setiap orang, sesuai dengan persepsi
dan pemahamannya, memahami suatu bentuk dari hakikat ini. Dan tidak seorang pun
yang mempunyai kelebihan pemahaman dibanding pemahaman yang lainnya. Manusia
tidak hanya mempunyai satu jalan lurus, tetapi kita mempunyai jalan-jalan lurus
dan semua mereka terhitung benar.
Apa yang mampu diraih dan dijangkau oleh manusia,
bahkan para nabi, tidak mempunyai jaminan kesahihan secara mutlak dan bukan
hakikat tetap Ilahi. Apa yang ada dalam koridor makrifat kita, itu
hanyalah hasil dari penangkapan mental (dzihni) masing-masing dari setiap
para nabi yang tidak terlepas dari pengetahuan-pengetahuan alami, fisika,
kemasyarakatan, politik, dan nilai-nilai yang berkuasa pada setiap zaman dari
mereka.
Dalam definisi pluralisme ini, diakui bahwa terdapat
satu hakikat yang mutlak dan tetap, akan tetapi hakikat yang berbetuk murni
sama sekali tidak sampai ke tangan manusia, termasuk para nabi. Natijahnya,
tidak satupun agama dan maktab yang mengungguli agama dan maktab lainnya. Di
dalam satu agama yang sama juga tidak terdapat satu mazhab yang mengungguli
mazhab lainnya.
Pandangan ini dinisbahkan dengan hal-hal yang pasti
dan tetap dan hal-hal yang pasti dan niscaya agama tidak dapat dibenarkan dan
merupakan tinjauan dan ungkapan yang sangat salah, tetapi dalam bentuk yang
sederhana dan dalam batas masalah-masalah teoritis dan hipotesa dapat dikaji
lebih jauh.
Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa
terdapat hakekat yang banyak dan manusia tidak memiliki hanya satu hakekat.
Berbagai keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman manusia,
semuanya adalah hakekat dan benar. Pengertian ini sudah jelas salah dan tidak
dapat diterima, sebab hal-hal yang saling kontradiksi adalah sesuatu yang
secara aksiomatis invalid (batil). Pluralisme dangan makna ini adalah suatu
bentuk konsep yang murni impor dari dunia Barat dan mempunyai akar perbedaan
antara teologi Kristen dan gereja dengan hasil penemuan ilmu-ilmu empirik.
Karena tidak mempunyai masalah dalam hal ini (sebagaimana ajaran gereja dengan
hasil penemuan ilmu dan sains), maka tidak perlu mengupas dan mengkajinya lebih
lanjut.
Hakekat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan
unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan
dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, manusia tidak memiliki satu agama
yang komprehensip dan utuh, tetapi manusia mempunyai keseluruhan agama-agama
yang setiap dari mereka memiliki saham hakekat.
Dalam agama Islam, hanya sebagian dari hakekat dapat
ditemukan. Demikian juga dalam agama Nasrani, bagian yang lain dari hakekat
dapat dijumpai dan dalam agama Yahudi, Budha, Hindu, penyembahan berhala, dan
lain sebagainya, bagian yang lain dari hakekat dapat ditemukan. Dengan tinjauan
ini, maka dapat disimpulkan bahwa manusia tidak mempunyai satu agama yang sama
sekali tidak memiliki saham dari hakekat. Bahkan, dalam setiap agama dapat
ditemukan saham dari hakekat dan kebenaran. Oleh karena itu, tidak
satupun dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai agama yang
mencapai hakekat secara keseluruhan dan sempurna. Tidak Islam, tidak Nasrani,
tidak Yahudi, tidak Budha, dan tidak yang lainnya.
Para kaum Muslimin tidak dapat menerima pluralisme
dengan makna ini, sebab agama Islam merupakan agama yang komprehensip, sempurna,
dan meliputi seluruh hakekat-hakekat dan kebenaran yang tidak dimiliki oleh
agama-agama lainnya. Agama ini tidak hanya mengandung sebagian dari hakekat,
tapi seluruh hakekat yang datang dari Tuhan. Pengkajian dan pengupasan tentang
benar dan salahnya masing-masing dari makna pluralisme di atas akan diuraikan
pada pembahasan-pembahasan berikutnya berkenaan dengan topik ini.
Latar Belakang Historis Pluralisme
Pandangan kejamakan dan keragaman (pluralisme) yang
dinisbahkan kepada agama, merupakan suatu konsep yang dikonstruksi oleh para cendikiawan,
pemikir, dan teolog barat yang dipengaruhi oleh suatu pandangan filsafat khusus
untuk menjawab dan memecahkan sebagian masalah-masalah akidah dan keyakinan dan
juga untuk memecahkan sebagian dari masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul.
Jadi pada dasarnya, pluralisme adalah suatu konsep yang terbangun dalam teologi
Kristen. Karena itu, jika kita tidak mengetahui teologi Kristen dan perbedaan
yang ada di antara firkah-firkah dalam agama ini, maka kita tidak akan dapat
memahami secara benar pluralisme.
Agama-agama yang diterima masyarakat dunia, dari segi
rasionalitas prinsip dan landasan mereka dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
Pertama: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya
adalah rasional. Yakni pembawa dan muballig agama tersebut menunjukkan prinsip
dan dasar utama agamanya dan para pengikut mereka, sampai kadar tertentu dalam
wilayah persepsi, mengkonsepsi dan membenarkan prinsip dan dasar agama
tersebut. Sebagai contoh: keyakinan terhadap keberadaan (wujud) Allah dan wujud
inilah yang sebagai pencipta, pemilik, pengatur, dan penguasa absolut
eksistensi. Dia adalah Mahatahu dan Mahakuasa serta di tangan-Nya lah
pengaturan alam semesta dan manusia.
Manusia, setelah menempuh kehidupan dunia ini akan
memasuki babak lain dari kehidupan yang disebut kehidupan ukhrawi. Bagaimana
corak dan warna kehidupan ini dari segi kebahagiaan dan penderitaan- ditentukan
oleh hasil amal perbuatan mereka dalam kehidupan dunia. Prinsip dan dasar ini,
semuanya memiliki landasan rasional, yakni alat dan sistem persepsi manusia
mampu mengkonsepsi dan menghukumi mereka. Misalnya akidah tentang mabda alam
semesta ini bersandarkan kepada prinsip dan hukum kausalitas, dimana konsepsi
tentang kaidah ini bahkan akal yang sederhanapun dan bahkan dalam masalah ini
bahkan sebagian dari hewan-hewan juga mempersepsinya. Bahwa setiap fenomena
merupakan hasil dari keseluruhan faktor-faktor dan sebab-sebab, ini adalah
suatu perkara aksiomatis, disaksikan dan dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, agama-agama yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip ini akan
mendapatkan pengakuan rasionalitas, dengan kata lain mendapatkan bagian dan
saham pembenaran dan penerimaan akal.
Penerimaan prinsip-prinsip di atas, pada dasarnya
dapat dalam bentuk murni analisa akal tanpa butuh kepada perantara lain seperti
perasaan, iradah, atau pemisahan wilayah akal dan iman. Akan tetapi dalam
teologi Nasrani terdapat bentuk penerimaan prinsip-prinsip tersebut
dengan perantara pemisahan wilayah akal (penerimaan dengan argumen rasional)
dan wilayah iman (penerimaan dengan murni iman).
Kedua: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya
adalah non-rasional. Maksud kami dari non-rasional atau tidak rasional adalah
suatu qadiyyah (proposisi) sedemikian hingga akal manusia tidak mampu
menemukannya dan tidak dapat menampungnya. Atau proposisi tersebut bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang berkuasa secara hukum rasional dalam akal manusia,
sehingga natijahnya tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh akal kita. Seperti
bentuk ungkapan pengikut Nasrani, Isa Masih mempunyai sisi ketuhanan dan juga
sisi kemanusiaan (manusia biasa) dan Tuhan adalah satu zat yang terdiri dari
tiga oknum, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus.
Agama-agama dan ajaran-ajaran seperti ajaran Hindu,
Budha, dan juga teologi Kristen tidak bisa terhindar dari pilar agama yang
non-rasional dan bertolak belakang dengan hikmat. Oleh karena itu, di antara
teolog Kristen terdapat orang-orang yang menolak rasionalitas dalam agama
sampai batas ekstrim, di mana mereka memutus sama sekali akar pemakaian akal
(rasionalitas) dalam masalah haqqaniyyat (kebenaran) agama. Pluralisme agama
dalam hal ini merupakan satu bentuk doktrin tentang penjauhan agama dari
analisa akal, bahkan bisa dikatakan suatu bentuk permusuhan dengan akal sebagai
antitesa dari rasionalisme Decartian.
Richard Swinburne memandang bahwa pembelaan agama
secara rasional tidak diperlukan. Swidler, mengambil kadar cakupan kebenaran
sedemikian luasnya, sehingga tidak hanya meliputi seluruh agama-agama dari
agama tauhid (monoteisme), politeisme, dan penyembahan berhala, bahkan juga
memuat maktab-maktab non-agama seprti komunisme ateis. William P. Alston
memandang bahwa penalaran yang digunakan untuk memecahkan perbedaan-perbedaan
teoritis agama secara keseluruhan adalah tidak mungkin dan memandang
ke-posibelan kebenaran pengalaman-pengalaman keagamaan yang saling
bertentangan.
Immanuel Kant (1729-1809) mengatakan bahwa teologi
Kristen serupa dengan proposisi-proposisi yang berfaedah. Dia memisahkan antara
nomen (hakikat sesuatu) dan phenomen (penampakan sesuatu), serta memandang
bahwa terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan dan realitas.
Pandangannya ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama,
serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari
proposisi-proposisi agama.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M), dalam pertengahan
abad 20, memandang bahwa keseluruhan akidah dan proposisi-proposisi teologis
merupakan aplikasi bahasa dalam dimensi penampakan kebersamaan dalam gambaran
kehidupan agama dan sama sekali tidak mempunyai validitas rasional serta tidak
dapat meluaskan lingkup kemestiaan teorinya.
Karl Barth (1886-1968 M), membedakan secara hikmat
antara hakekat-hakekat ketuhanan dengan pembahasan-pembahasan lainnya dan
memandang bahwa segala sesuatu bergantung kepada Tuhan. Karena itu, segala
usaha ilmu dan pengetahuan manusia tidak akan memperoleh hasil.
Semua ini merupakan penggalan-penggalan pemikiran yang
terpisah-pisah yang menjadi cikal bakal pertentangan epistemologis dalam bab
agama, akhlak, dan teologi keagamaan. Di mana salah satu dari konklusi logis
dari pertentangan epistemologis tersebut adalah penegasian kebenaran dari semua
agama-agama. Dalam atmosfir keberagamaan Kristen, orang-orang akan berhadapan
dengan keimanan kepada prinsip dan dasar teologi yang kontra rasionalitas, akan
tetapi pada saat yang sama mereka mesti meyakininya. Dalam agama ini, tujuan
adalah kelangsungan hidup, bukan pengetahuan dan menurut perkataan Rasul
Paulus: Tuhan memilih orang-orang bodoh alam (dunia) sehingga membuat hina
(mempermalukan) para penguasa. Semua ini merupakan suatu motif kontra makrifat,
padahal pada hakekatnya agama itu sendiri mesti berasaskan makrifat yang benar.
Skeptis dalam Keimanan Kristen
Dalam agama Kristen, keyakinan mesti bertumpu pada
kekuatan iman dan apa yang akal katakan tentang hakikat sesuatu, selama ia
bertentangan dengan keimanan maka tidak akan diterima. Oleh karena itu,
semuanya mesti meyakini kepada proposisi-proposisi yang tidak rasional sebagai
prinsip dan dasar utama agama. Bentuk keimanan seperti ini tidak lain bermakna
pengakuan secara lisan, kendatipun pada hakikatnya teradapat penolakan dan
pengingkaran secara akal dan kalbu. Dan keimanan seperti ini senantiasa disertai
dengan keraguan dan skeptis dan seorang penganut Kristen akan selalu berkata:
Saya dalam realitas ketidak berimanan, mesti beriman. Mereka bahkan untuk
keimanan yang disertai dengan keraguan seperti ini juga mengutarakan dampak dan
natijahnya, di antaranya:
1- Keraguan adalah faktor dan penyebab mendasar
iman dan iman yang tidak goyah dengan keraguan bukanlah iman sejati.
2- Keraguan merupakan penampakan kerendahan hati
(tawadhu) dan tanpa kerendahan hati ini maka yang ada pamer keimanan agama dan
ini adalah suatu bentuk penaklidan keagamaan.
3- Keraguan adalah penyebab toleransi keberagamaan dan
tanpa hasrat kepadanya maka tidak mungkin tercipta toleransi keberagamaan.
Yakni, karena semua mempunyai keraguan terhadap prinsip dan dasar agamanya dan
memberi kemungkinan bahwa agama lain yang hak, maka itu mereka toleran dengan
para pengikut agama-agama lain dan mereka akan hidup saling rukun.
Dengan demikian, pada abad 20 muncul pembicaraan
tentang kerukunan dan toleransi antara umat beragama. Pada awalnya lebih banyak
mengarah kepada dimensi akhlak dan masih sedikit perhatian terhadap dasar dan
bangunan teoritisnya. Dan pada tingkat penyebaran agama Kristen, senantiasa
dipesankan bahwa jangan mengajak pengikut-pengikut agama lain kepada agama
Kristen secara paksa.
Faktor-faktor Terbangunnya Pluralisme Sosial
Setelah meluasnya wilayah hubungan antara masyarakat,
khususnya setelah peperangan sengit antara agama-agama, mazhab-mazhab, dan
firkah-firkah, baik itu perang salib antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani
maupun peperangan antara pengikut mazhab-mazhab Kristen satu sama lain, dan
dampak-dampak buruk yang ditinggalkan oleh peperangan ini, maka pemikiran ini
menguat bahwa mesti agama-agama dan mazhab-mazhab lain secara resmi diterima
dan berdamai dengan mereka serta berpikir tentang kemaslahatan masyarakat,
karena itu mesti dibangun kesesuaian di antara mazhab-mazhab dan
maktab-maktab yang bermacam-macam.
Di samping itu, sistem kapitalis, setelah mendistorsi
akal teoritis dan praktis dan setelah mengenyampingkan tradisi-tradisi
keagamaan, dengan bersandarkan kepada akal sebagai alat; yakni menggunakan
teknologi dan birokrasi ke arah kekuatan duniawi, maka tidak ada jalan
lain masyarakat terpaksa menerima globalisasi dunia. Sistem ini menuntut hubungan,
informasi, dan komunikasi yang demikian luas serta meliputi. Dan sebagai
natijahnya, ikatan-ikatan, tradisi-tradisi keagamaan, dan budaya-budaya lokal
tidak mampu membendung serangan kekuatan besar yang menggelobal dan mendunia
ini. Dalam kondisi inilah wacana pluralisme sosial menjadi bahan perbincangan
dan sebagai alternatif pemecahan masalah sosial.
Pluralisme Agama Dalam Dunia Kristen
Poin penting pluralisme agama dalam dunia Kristen
–liberal- adalah masalah doktrin keselamatan (salvation). Dari sudut pandang
gereja, Hadhrat Masih (Isa As) merupakan satu-satunya jalan keselamatan dan
jalan yang menyampaikan ke surga. Menurut kaum Kristen Protestan, keselamatan
ini hanya diperoleh dari jalan iman. Dalam teologi liberal-Protestan, hubungan
mukmin dan amal terputus, sebagaimana diyakini oleh mereka bahwa tidak
boleh menunjukkan perasaan di atas akidah dan keyakinan; sebab menurut mereka
tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah hak yang mesti kita persepsi dan yakini
dan meninggalkan hal yang menyalahinya. Kaum Protestan menyatakan agama adalah
murni suatu perasaan romantik pribadi dan suatu kecenderungan kalbu yang tidak
memiliki parameter untuk dihukumi, dikritik, ditolak, atau diterima. Dalam
bentuk pendekatan ini, yang menjadi urgen hanyalah kepemilikan iman, bukan
subyek iman. Cara hidup dan cara beramal serta program dan aturan nilai
agama-agama, tidak mempunyai nilai penting sampai batas dapat menjadi sumber
pertikaian satu sama lain. Dan apa yang menjadi hal dipertanyakan tentang nasib
orang-orang lain (di luar pengikut agama Kristen), dengan konsep pluralisme
agama, ke-penghuni-an neraka mereka (para pengikut agama-agama lain selain
pengikut agama Kristen) dengan berbagai dalil dan kecenderungannya, menjadi hal
yang teringkari dan ternafikan.
Lain lagi halnya dalam gereja Katolik, keselamatan dan
masuk surga bagi seseorang hanya dapat diperoleh dengan pelaksanaan
upacara khusus. Dalam abad pertengahan, kaum Katolik berkeyakinan bahwa hanya
orang yang sudah mandi baptis (dibaptis oleh gereja) yang bisa masuk surga.
Menurut mereka, bahkan Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As bukanlah ahli surga,
kendati mereka ini sangat dihormati oleh gereja. Mereka ini berada dalam sebuah
tempat yang bernama Limpo. Tempat ini berada di antara surga dan neraka dan di
sana tidak terdapat kelezatan dan penderitaan. Mereka ini dan orang-orang yang
tidak terbaptis tetapi tidak melakukan dosa-dosa besar, tertunda masuk surga
dan tinggal di sana sampai Hadhrat Isa As membawa mereka masuk surga pada hari
kiamat.
Kemudian terjadi perubahan dalam pandangan gereja,
bahwa untuk mandi baptis tidak mesti air disiram di atas kepala, akan tetapi
terkadang dengan cara lain juga sudah mencukupi.
Toleran dalam perkara agama dari sisi kaum Katolik
sampai pada batas disebutnya sebagai ‘Kristen tanpa nama’ para pengikut
agama-agama bukan Kristen dan menyatakan secara jelas, para pengikut agama
lain yang mempunyai kehidupan baik dan bersih, mereka adalah kaum
Kristen; kendatipun mereka ini tidak menerima pengajaran dan doktrin Kristen. Natijah
ini merupakan hasil penjelasan Konvensi Vatikan II (1962-1965 M), kemudian
salah seorang dari teolog Katolik pada abad 20 bernama Karl Rahner,
mengungkapkan bahwa manusia mesti memandang sekelompok masyarakat dan
agama-agama yang bukan suatu mazhab sebagai orang-orang Kristen. Misalnya jika
seorang Muslim, mempunyai kehidupan baik (maksudnya baik dalam amal perbuatan),
dia hidup jujur dan bersih, dia juga tidak melakukan perbuatan yang menyalahi
ajaran-ajaran Kristen, manusia dan Tuhan memandang dia sebagai orang Kristen
kendatipun dia tidak melakukan pembaptisan.
John Hick (1922-1982 M), seorang uskup dari sekte
Presbyterians yang terdapat di Inggris, mempunyai pengalaman mengajar beberapa
tahun di Amerika Serikat dan juga pensiun di sana. Sebelumnya ia di Inggris
bagian Timur (Birmingham) banyak bergaul dan bekerja sama dengan orang-orang
yang bukan pengikut Kristen seperti orang Islam, Hindu, dan Yahudi. Hubungan
dan kerjasama tersebut melahirkan suatu pandangan baru tentang agama-agama dan
mazhab-mazhab baginya.
John Hick, sebelum membangun teori pluralisme agama,
sebelumnya melakukan kritik terhadap ajaran Kristen tentang pembaptisan,
pengaruh gereja memberi keselamatan pada jamaah, dan keyakinan-keyakinan
Kristen lainnya. Dan yang paling penting serta paling sentral dari kritiknya
adalah keyakinan menitisnya (hulul) Tuhan (tajassud uluhiyyat) pada diri
Nabi Isa As. John Hick berkata: ”Saya sampai pada kesimpulan bahwa bentuk
keyakinan terhadap hulul atau tajassud lahut pada nasut, yakni hulul-nya
Tuhan pada diri Isa Masih As, sebagai suatu bentuk metaphor, majazi, dan atau
legenda, bukan sebagai suatu proposisi berbentuk satu hakikat murni”.
Oleh karena itu, toleransi dalam masalah agama yang
dilakukan oleh gereja Katolik sampai batas memandang pengikut agama-agama lain
yang dalam kehidupannya bersih dan berakhlak baik, meskipun mereka tidak
menerima doktrin dan ajaran Kristen, mereka dianggap sebagai orang-orang
Kristen tanpa nama, masih dipandang tidak cukup oleh John Hick, sebab pandangan
ini masih menjadikan agama Kristen sebagai tolok ukur dan parameter penerimaan
agama-agama dan keselamatan seseorang. Berasaskan tinjauan ini dia
mengungkapkan suatu pandangan tentang kebenaran dan keselamatan semua
agama-agama dan pangikut mereka sebagai pluralisme agama-agama.
John Hick meletakkan dasar pluralisme agamanya
berdasarkan masalah tasybih (penyerupaan), memisahkan pengalaman keagamaan dari
penakbiran keagamaan, dan pembicaraan masalah pemahaman mufassir sebagai
kesanggupan manusia dalam mengungkapkan kandungan pengalamannya.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan, pluralisme agama,
hakikatnya secara epistemologis sangat berkaitan dengan penafian dan penegasian
makrifat sesuai dengan realitas’, karena itu kaum pluralis mempunyai masalah
dalam asli makrifat. Pada dasarnya semua orang mengakui bahwa kita tidak akan
pernah sampai pada makrifat kunh dzat aqdas Tuhan, sebagaimana Dia adalah Allah,
tetapi pembicaraan tidak pada tataran ini, pembicaraan berkenaan dengan batas
minimum makrifat, dan kadar makrifat terhadap Allah dalam konteks ini adalah
tidak mustahil.
Epistemologi Pluralisme John Hick
Epistemologi pluralisme John Hick memiliki bangunan
empirisis dan berdasarkan atas penafian kemungkinan ‘pengetahuan sesuai dengan
realitas’ khususnya dalam konsep agama, karena itu meniscayakan skeptisisme
dalam permasalahan agama-agama. Pandangan ini dipengaruhi oleh romantisisme
Schleiermacher (agama merupakan hasil perasaan pribadi dan tidak mempunyai
kandungan makrifat), dan pemisahan nomen dan phenomen Immanuel Kant (pintu
makrifat tertutup kepada realitas), relativisme pengetahuan, kesetaraan
argumen, dan sebagai natijah akhir dari ini, di antaranya adalah tidak boleh
menegaskan sesuatu sebagai akidah dan keyakinan hak, sebab ini memestikan
pembatilan orang-orang lain. Berasaskan tinjauan ini, dasar dan prinsip
keyakinan dan makrifat agama-agama (termasuk agama Islam), paling maksimal
dalam batas anutan yang tidak didasari oleh aspek keilmiahan, sehingga tidak
satupun dari mereka dapat ditetapkan atau dibatilkan. Dan semua agama-agama
serta mazhab-mazhab berposisi sama dan mesti semuanya diterima secara resmi.
Kedua, agama dalam hal ini termasuk hukum-hukum Islam juga menjadi penghalang
pluralisme agama-agama. Karena itu, tugas praktis ibadah, manasik, dan
hukum-hukum tidak boleh dipandang sebagai bagian prinsipil dari keberagamaan.
Ketiga, akhlak juga mempunyai parameter yang berbeda-beda dan dalam banyak hal
tidak dapat dihukumi ajaran akhlak mana yang sahih dan ajaran akhlak mana yang
tidak sahih. Oleh karena itu, di samping dalam prinsip akidah dan hukum-hukum,
dalam akhlak juga mesti diterima sejenis relativisme.
Dalam bentuk tinjauan ini, yang penting hanyalah
kepemilikan iman, bukan subyek iman. Aturan-aturan hidup dan cara beramal serta
program dan jadwal agama, tidaklah bernilai sampai batas dapat menjadi sumber
pertentangan di antara pengikut masing-masing dari setiap agama. Dengan
demikian, tidak satupun agama yang menghitung batil agama-agama lainnya dan
seluruh agama-agama akan hidup rukun satu sama lain.
Kesimpulan
Pendistorsian nilai wahyu sampai batas memandangnya
sebagai suatu hasil pengalaman psikologis seseorang, penyebab terhapusnya
kandungan makrifat dari agama (khususnya dalam ruang lingkup metafisika).
Motif-motif demikian telah ada sejak zaman dahulu
hingga sekarang, dalam berbagai bentuknya seperti penisbahan penyair, penyihir,
dan gila kepada para nabi As, wahyu yang dibawa oleh mereka juga mengalami hal
yang sama dengan pendefinisian mereka sebagai pengalaman psikologis dan
pengalaman internal. Oleh karena itu, mereka ini kemudian memperkenalkan
kenabian sebagai gabungan dari bahasa syair, produk sihir, dan pengalaman
psikologis yang bernuansa kegilaan. Dan mereka memandang para nabi paling
maksimal sebagai reformer kemanusiaan yang memiliki kharismatik kepemimpinan,
bukan utusan dan rasul Tuhan. Demikianlah dampak-dampak tinjauan pluralisme
agama terhadap para nabi, wahyu, dan kenabian, yang merupakan suatu bentuk
pendistorsian dan pendegradasian realitas dan sejarah.
Daftar Pustaka
Carson, D.A. The Gagging of God:
Christianity Confronts Pluralism. Grand Rapids: Zondervan, 1996.
Corduan, Winfried.
A
Tapestry of Faiths: The Common Threads Between Christianity and World Religions.
Illinois: IVP, 2002.
Hick, John. Mitos Keunikan
Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Netland, Harold.
Encountering Religious Pluralism: The
Challenge to Christian Faith and Mission. Illinois: IVP, 2001.
Okholm, Dennis
L. Four Views on Salvations in a
Pluralistic World. Grand Rapids: Zondervan, 1995.
Sen Chang, Lit. Asia’s
Religions: Christianty’s Momentous Encounter With Paganism. New Jersey:
P&R, 1999.
Suseno, Frans Magnis S.J. Menjadi
Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk. Jakarta: Obor, 2004.
Betvictor - Hotels - Mapyro
BalasHapusGet directions, 전라북도 출장마사지 reviews and information for Betvictor in Maricopa, 부산광역 출장안마 AZ. 충주 출장마사지 You can't live-stream any 태백 출장샵 casino in a casino. Get directions. 춘천 출장안마 3,800-522-4700.