Pada awalnya, pernikahan dianggap sebagai sebuah ritual yang sangat sakral bagi manusia, dimana sepasang manusia (pria dan wanita) dipersatukan untuk satu kali seumur hidup. Namun, jika melihat fenomena-fenomena yang terjadi pada dewasa ini, pernikahan seperti sebuah permainan, dimulai dengan rasa antusias yang besar dan diakhiri jika rasa antusias itu sudah berubah menjadi sebuah rasa pesimis atau bosan, sehingga memilih untuk mengakhiri permainan tersebut.
Perceraian dan
pernikahan kembali terkesan sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian manusia di
dataran bumi yang fana ini, bahkan gaya hidup seperti ini secara perlahan tapi
pasti sudah mulai menjamur di kalangan kekristenan, dan fakta ini lah yang
tengah dihadapi oleh gereja Tuhan masa kini.
Sebagai contoh, anak-anak Tuhan
yang hidup di daratan Eropa dan Amerika telah lama terjerembab dalam kehidupan
perceraian dan pernikahan kembali. Apa yang terjadi saat ini sangat mengherankan,
mengingat bahwa pada awalnya kekristenan justru
berkembang di sana. Bahkan gaya hidup seperti ini sudah mulai memasuki daerah
Asia, secara khusus Indonesia.
Dari fakta yang ada,
jelas bahwa pembinaan dan pengarahan yang dilakukan gereja-gereja tentang
pernikahan dan perceraian yang sesuai dengan firman Tuhan sangatlah minim.
Gereja masih terlalu setia pada “perkara-perkara kecil”, sehingga tanpa
disadarinya gereja melupakan “perkara-perkara besar” yang sudah menanti mereka.
Yang menjadi perhatian
penulis adalah mengapa pernikahan dan perceraian telah menjelma menjadi awan,
mudah ditemukan dan menjadi hal yang biasa di kehidupan manusia saat ini,
khususnya di kekristenan? Apakah ada syarat-syarat yang berlaku yang mengatur
terjadinya pernikahan dan perceraian? Lalu, apa yang harus dilakukan gereja
Tuhan untuk menjawab atau minimal menengahi permasalahan yang sedang
berkembang, khususnya perceraian dan pernikahan kembali?
Dalam makalah ini
penulis akan mencoba untuk memberikan solusi bagi permasalahan ini, tepatnya
pada pergulatan eksistensi gereja dalam konteks Indonesia yang diperlengkapi
dengan dasar-dasar yang teologis.
Gereja
Pengertian
Dewasa ini gereja lebih
dikenal sebagai sebuah bangunan yang dibangun sangat gagah dan dihiasi dengan
barang-barang mewah. Dan yang lebih mengenaskan adalah orang-orang yang telah
percaya kepada Kristus pun sedikit banyak tidak mengetahui pengertian gereja
dan tugas gereja bagi umat-Nya.[1]
Pengertian gereja
sendiri dibagi menjadi dua, yaitu visible
church dan invisible church. Visible church adalah gereja yang
terlihat, semisal gereja yang dibatasi oleh tembok-tembok dan atap. Dan invisible church adalah gereja yang
terlihat. Maksudnya adalah orang-orang yang sudah percaya kepada Kristus dan
yang siap atau tengah melakukan misi Tuhan di bumi ini. Akan tetapi, jika kita
mengacu kepada bahasa aslinya (ekklesia),
gereja memiliki arti dipanggil keluar. Dipanggil untuk berkumpul menjadi sebuah
persekutuan yang mengabarkan kabar bahagia atau Injil. Permasalahannya
sekarang, apakah mengabarkan Injil hanya bisa menggunakan satu metode, yaitu
penginjilan secara verbal? Jawabannya adalah tidak. Dalam Matius 28 manusia
diajarkan untuk mengajar mereka dan melakukan segala sesuatu, dengan kata lain
bahwa gereja Tuhan harus merasuk ke setiap aspek kehidupan, mau atau tidak,
suka atau tidak, dengan catatan sesuai dengan perintah Tuhan.
Dasar
dan Tujuan
Di dalam Alkitab ada
beberapa ayat yang jika dibaca dengan sungguh-sungguh memiliki indikasi ke arah
tujuan gereja. Akan tetapi penulis hanya mengambil dari dua ayat, yaitu Matius
28:19-20.
Dalam bagian ini Tuhan
Yesus ingin memberitahu bahwa tugas manusia yang telah percaya kepada-Nya
tidaklah sederhana, karena orang-orang yang mengikutinya haruslah mengikuti apa
yang telah diperintahkan-Nya. Dalam bagian ini pun Tuhan Yesus ingin menyampaikan
bahwa orang-orang (invisible church)
yang telah percaya kepada-Nya dan yang telah mengalami pertobatan harus
menyebarkan Injil dan membaptis orang yang belum mengenal Injil, lalu mengajari
apa yang telah Tuhan Yesus ajarkan kepada para Rasul. Bukan hanya itu, bahkan
orang percaya pun harus bisa memberikan pengaruh positif kepada sekelilingnya
(Matius 5:16). Dengan kata lain, gereja harus menyesuaikan diri dengan
pergulatan konteks, tapi dengan tidak mengurangi makna Injil yang sebenarnya.
Tugas
Gereja yang berdiri
atas dasar Kristus memiliki tiga tugas, yaitu up-reach (hubungan gereja dengan
Allah), in-reach (hubungan gereja dengan jemaat), dan out-reach (hubungan
gereja dengan yang di luar gereja). Namun yang dapat dilihat, saat ini gereja
hanya lebih fokus dengan up-reach atau in-reach, atau bahkan keduanya. Gereja
seakan melupakan tugasnya yang lain, yaitu untuk peduli dengan sekitarnya,
dengan lingkungan dimana gereja berada. Sedangkan Kristus sendiri mengutus
murid-murid-Nya untuk menjadi terang dan garam di tengah dunia, tapi gereja
terlihat seperti tidak mengindahkannya.
Up-reach[2]
Gereja didirikan
berdasarkan Kristus, sehingga gereja butuh menjalin hubungan yang baik dengan
Kristus. Akan tetapi bukan berarti gereja yang berinisiatif untuk memulai menjalin
hubungan itu, melainkan Kristus sendiri yang berinisiatif. Sejak inilah gereja
diberi kepercayaan untuk menjadi sarana pelaku firman Tuhan dan dianggap
sebagai wakil Tuhan bagi kaum awam.
In-reach[3]
Selain memiliki tugas memperhatikan
hubungannya dengan Kristus, gereja pun memiliki tugas untuk memperhatikan
jemaat yang dipercayai oleh Kristus kepadanya. Gereja sebagai sarana yang
dipakai Kristus dan bertanggung jawab pada pertumbuhan jemaat, baik dalam iman
maupun pemahaman yang benar tentang firman Tuhan. Bahkan pada masa tertentu,
gereja harus bisa menjadi pihak yang dapat menyelesaikan segala masalah yang
tengah terjadi di jemaat.
Out-reach[4]
Dan tugas yang ketiga
dari gereja adalah dimana gereja pun harus membangun relasi yang baik dengan
orang-orang atau kelompok-kelompok di luar gereja. Alasannya adalah karena
Kristus sendiri pun tidak mengasingkan diri-Nya dengan orang-orang dunia,
bahkan Dia pun hidup dan bergaul dengan orang-orang dunia. Dengan peristiwa
ini, gereja diminta untuk lebih peduli terhadap sekitarnya, bukan hanya dengan
dirinya sendiri, sehingga tidak dapat menjadi berkat bagi sekitarnya. Gereja
pun diminta untuk dapat turun ke bawah dan memperhatikan, serta merasakan
pergulatan-pergulatan yang sedang terjadi dengan masyarakat setempat.
Pernikahan
Bagi
kaum awam, pernikahan adalah sebuah ritual agama yang layak atau bahkan harus
dilakukan oleh setiap manusia, dimana sepasang kekasih dipersatukan dengan
janji-janji suci di sebuah tempat yang dianggap sebagai tempat yang sakral,
atau tempat-tempat ibadah.
Pernikahan
Secara Kristen
Pernikahan
adalah salah satu sakramen (tanda) dari dua sakramen yang diakui oleh Kristen.
Pernikahan diberkati di gereja dan oleh seorang pendeta, dan dibangun dari
cinta dua insan yang dipersatukan oleh Tuhan. Dengan kata lain, pernikahan
adalah sebuah sesuatu yang kudus. Dan apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak
dapat dipisahkan oleh siapa pun.
Sebelum
memasuki jenjang pernikahan, kedua calon mempelai seyogyanya harus melewati
masa konseling. Konseling yang dilakukan biasanya dipimpin seorang pendeta atau
gembala setempat. Pada masa konseling, kedua calon mempelai akan diberikan
beberapa pertanyaan, termasuk kesungguhan yang satu dengan yang lainnya, bahkan
bisa sampai pada konseling tentang masalah yang sifatnya sangat pribadi, yaitu
seks.[5]
Pernikahan
Kristen pasti menjadi berkat ketika sepasang suami isteri menerapkan
prinsip-prinsip firman Tuhan di dalam kehidupan keluarganya[6],
serta menjadikan doa sebagai sesuatu yang esensial dalam memelihara rumah tangga
yang berpusatkan pada Kristus.[7]
Bukan hal yang mudah, apalagi saat keluarga ini harus menghadapi
masalah-masalah yang memang memaksa mereka untuk tidak lagi menjadi orang yang
berpikir idealis, tapi yang memaksa mereka untuk menjadi orang yang berpikir
realistis. Jika sebuah pernikahan memang dibangun atas dasar cinta dan kasih
Tuhan, maka sebesar dan sebanyak apa pun permasalahan yang terjadi pasti dapat
diselesaikan dengan baik. Pernikahan Kristen pun tidak hanya bicara tentang
janji antara manusia, melainkan janji antara manusia (kedua calon mempelai)
dengan Tuhan yang mempersatukan mereka.
Rumusan
alkitabiah yang paling mendekati sasaran tentang pernikahan terdapat dalam
Kejadian 2:24, yang dikemudian hari dikutip oleh Yesus, tatkala Ia ditanyai
tentang dasar-dasar alkitabiah yang dapat dijadikan alasan yang absah untuk
perceraian (Matius 19:4-5).[8]
Langsung sesudah Allah menciptakan Hawa dan membawanya kepada Adam, lalu Adam
mengenalinya sebagai tema pemberian Allah untuk sehidup semati, maka sambung
narator: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan
bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Berdasarkan
ayat ini dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa bagi Allah, pernikahan adalah
ketika seorang laki-laki memisahkan diri dari orangtuanya untuk menyatu dengan
istrinya dan menjadi sedaging dengan dia. Akan tetapi, ada ketidaksamaan yang
esensial antara keduanya. Sebab, ungkapan alkitabiah “satu daging” menandakan
bahwa kesatuan suami-istri secara fisik, emosional, dan sosial daripada relasi
antara anak-anak dengan orangtua. Khalayak semakin menyadari bahwa perkembangan
menjadi seorang manusia menuntut separasi emosional tertentu dari orangtua.
Jadi
Kejadian 2:24 mengimplikasikan bahwa pernikahan adlaah ikatan yang eksklusif,
dengan sepengetahuan orang banyak, permanen, mencapai kegenapannya melalui
persetubuhan. Dengan demikian, arti dari pernikahan yang alkitabiah adalah
pernikahan adalah suatu ikatan janji yang eksklusif dan heteroseksual antara
satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh
Allah, didahului oleh kepergian meninggalkan orangtua dengan sepengetahuan
orang banyak, mencapai kegenapannya yang sepenuhnya dalam persetubuhan, menjadi
suatu pasangan yang permanen saling menopang, dan biasanya dimahkotai dengan
penganugerahan anak-anak.
Pernikahan
Menurut Undang-Undang di Indonesia
Setiap kejadian yang terjadi (khususnya) di
Indonesia tidak lepas dari pengaruh undang-undang yang telah dibuat dan
disepakati oleh pemerintah. Undang-undang ini dibuat guna mengatur kehidupan
masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Undang-undang
yang dibuat dan disepakati pun sudah dipertimbangkan baik dan buruknya, serta
disetarakan dengan Pancasila dan juga pada prinsip-prinsip agama yang berlaku
di Indonesia, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang banyak dihuni
oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pemahaman tentang agama yang
berbeda.
Pernikahan
dirumuskan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 sebagai
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[9]
Oleh karena merupakan ikatan lahir batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa
Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan untuk memuaskan nafsu biologis semata,
akan tetapi merupakan sesuatu yang sakral.
Tujuan
pernikahan tersebut hanya mungkin dicapai jika di antara suami dan istri saling
membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Dalam
setiap pernikahan (pada umumnya) terdapat tiga aspek penting, yaitu aspek hukum
(legal aspect), aspek sosial (social aspect), dan aspek agama atau kepercayaan
(religious aspect).[10]
Dari
segi hukum, pernikahan merupakan suatu
ikatan perjanjian di antara seorang pria dan seorang wanita dengan terlebih
dahulu adanya keharusan dipenuhinya beberapa syarat yang diperlukan seperti
adanya kata sepakat, dan lain sebagainya. Selain itu, hukum juga mengatur
tentang akibat-akibat jika ikatan perjanjian tersebut ternyata tidak dipenuhi.
Dari aspek sosial, pernikahan itu
memberikan pada seorang wanita status yang lebih tinggi di masyarakat dari
statusnya sebelum nikah, terdapatnya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan
berpoligami seperti yang terjadi semasa sebelum Islam, dan anjuran dari Rasul
terhadap mereka yang mampu untuk melakukan suatu pernikahan. Sedangkan dari
aspek agama, pernikahan bukan hanya sekedar suatu ikatan perjanjian semata,
melainkan juga merupakan sesuatu yang sakral sifatnya.
Jika
beracu pada undang-undang yang telah ada, orang-orang yang ingin melakukan
pernikahan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pada pasal 6, sangat jelas
bahwa pernikahan dapat dilangsungkan apabila kedua pihak mendapatkan izin dari
masing-masing pihak yang bersangkutan. Akan tetapi undang-undang ini tidak akan
berlaku lagi jika agama yang dianut oleh sang calon memiliki
ketentuan-ketentuan yang lain.
Pada
pasal 7, pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapati umur
sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur enam belas tahun.
Jika ada yang merasa dirugikan, pihak yang dirugikan dapat menuntut melalui
jalur hukum.
Negara
pun memberikan kriteria-kriteria bagi pernikahan yang tidak diizinkan oleh
negara, yaitu:[11]
1.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan
darah dalam garis keturunan menyamping, seperti antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, dan menantu.
4.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
susuan.
5.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
6.
Kedua calon mempelai memiliki hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang nikah.
Pernikahan
pun bisa dibatalkan, jika syarat-syarat yang berlaku tidak dapat dipenuhi oleh
kedua belah pihak calon mempelai. Ini tercantum pada pasal 28 ayat 1 dan 2.
Yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, suami atau istri, dan pejabat
yang berwenang hanya selama pernikahan belum diputuskan. Dan pembatalan ini
diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana pernikahan akan
dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat pernikahan.[12]
Dan masih banyak lagi yang berpeluang untuk membatalkan sebuah pernikahan.
Perceraian
Perceraian
adalah sebuah keputusan yang menjadikan adanya perpisahan antara suami dengan
istrinya, perpisahan fisik. Perceraian adalah sebuah jalan yang pada saat ini
sangat mudah untuk ditemui di kehidupan manusia kini, mulai dari orang yang
keadaan ekonominya kuat hingga pada level orang yang keadaan ekonominya tidak
stabil, bahkan lemah.
Perceraian
Secara Kristen
Tentu
kata perceraian masih terdengar asing bagi kalangan Kristen, karena banyak dari
mereka yang mempercayai bahwa apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak dapat
dipisahkan oleh siapa pun. Jadi dalam kondisi apa pun, perceraian tidak akan
pernah terjadi di kekristenan. Pernyataan seperti ini sangat keliru, ini
mencerminkan bahwa orang-orang yang memiliki pendapat seperti ini tidak membuka
mata kepada apa yang terjadi pada kekristenan, secara khusus di Indonesia.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kini kekristenan telah terjerembab pada masalah
perceraian, baik itu jemaat awam, maupun pemimpin rohani atau gereja. Mengapa
bisa orang Kristen terjebak dalam perceraian? Karena orang Kristen memiliki
keterbatasan. Ini adalah jawaban yang sering orang dengar. Tapi jika diselidiki
lebih dalam lagi, penyebab perceraian adalah salah satu atau bahkan keduanya
tidak dapat lagi menerima perbedaan dan kekurangan dari pasangannya, dan pada
posisi seperti ini yang patut disalahkan adalah pihak gereja. Karena dengan
peristiwa seperti ini, gereja menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak peduli
terhadap pernikahan, atau dapat dibilang itu sebagai “tugas sampingan” dari
para pemimpin gereja.
Kitab
Ulangan 24:1-4 adalah bagian Alkitab ynag menunjuk kepada alasan atau prosedur
untuk perceraian.
Butir
pertama yang perlu diperjelas ialah sasaran peraturan atau hukum ini. Hukum ini
tidak menuntut, tidak melarang, bahkan tidak mengizinkan perceraian.[13]
Keprihatinannya yang pertama sekali-kali tidak ada sangkut-pautnya dengan
perceraian, bahkan tidak dengan surat cerai. Tujuannya ialah melarang laki-laki
untuk mengawini ulang mantan istrinya, karena bila ini terjadi, ini adalah
sebuah kekejian di hadapan Allah.
Kedua,
meskipun perceraian tidak dianjurkan, namun itu terjadi, dan alasannya bisa
karena si suami mendapati sesuatu yang “tidak senonoh” pada istrinya. Bila
diteliti arti kata senonoh, artinya bukanlah seperti yang dibayangkan oleh
banyak kalangan, bukan tentang seks, karena jika tentang seks, yang pasti
diterima oleh sang istri bukanlah surat cerai, melainkan hukuman mati. Jadi
yang dimaksud dengan senonoh adalah tindakan yang ceroboh dan malas.[14]
Perceraian
itu diperbolehkan atau ditolerir, atau diizinkan, tetapi tidak pernah
ditetapkan sebagai bagian dari rencana Allah untuk sebuah pernikahan.[15]
Perceraian bukan merupakan peraturan Allah yang ditetapkan untuk ditambahkan
kepada prinsip pernikahan yang sesungguhnya. Ia merupakan suatu peraturan yang
mengizinkan dan yang dibuat untuk mengawasi praktek keji yang sudah biasa
dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir dan yang dapat merusak kehidupan rumah
tangga kalau hal itu terus diperbolehkan.
Perceraian
Menurut Undang-Undang di Indonesia
Hukum
negara mengizinkan adanya perceraian, tapi perceraian dapat dilaksanakan
apabila syarat-syarat yang berlaku dilewati. Syarat-syaratnya antara lain:[16]
1.
Jika salah satu dari pasangan itu
melakukan zinah, pemabuk, pemadat, penjudi, dan kegiatan yang merugikan
lainnya. Adakalanya agar perceraian dapat terkabul, pihak-pihak yang
bersengketa yang masing-masing menghendaki terjadinya perceraian itu mengajukan
suatu bukti salah satu pihak telah melakukan perzinahan yang sesungguhnya
perzinahan itu belum tentu terjadi. Di dalam kitab undang-undang hukum pidana,
tindak pidana perzinahan diklasifikasikan sebagai delik aduan.
2.
Salah satu pihak meninggalkan yang lain
untuk masa dua tahun tanpa meninggalkan yang lain untuk masa dua tahun tanpa
izin dari pihak yang lain. Terdapat beberapa syarat penting untuk dapat
digunakan alasan ini, yaitu harus tanpa izin pihak yang lain yang ditinggalkan,
tanpa sebab yang sah, dan karena hal lain di luar kemauannya. Jika diperhatikan
alasan-alasan ini dihubungkan dengan ketentuan lama yang pernah berlaku,
nampaklah bahwa undang-undang perkawinan baru mengambil alasan ini dari
ordonansi Kristen Indonesia sebagaimana yang termuat dalam pasal 56 ayat 2.[17]
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat. Ketentuan ini diambil dari
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 211. Penentuan lamanya lima tahun
dinilai cukup beralasan oleh karena waktu lima tahun dianggap cukup baik bagi kedua
pihak untuk menentukan apakah perkawinan mereka akan diteruskan atau diakhiri.
4.
Melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat.
5.
Mendapat cacat badan atau penyakit
berat. Ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah bahwa harus
yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau istri.
6.
Perselisihan dan pertengkaran yang
terus-menerus. Nampaknya alasan ini pun memerlukan suatu penjelasan. Masih
menjadi pertanyaan apakah yang diartikan dengan perselisihan dan pertengkaran
yang terus-menerus ini. Undang-Undang Perkawinan pun tidak memberikan
penjelasannya. Jadi, mutlak bahwa ini adalah tugas para hakim yang akan
menafsirkan dan mempertimbangkan segalanya.
Tanggapan
Gereja
Melihat
fakta yang ada, terlihat sangat miris dan ironis apabila gereja hanya terdiam
dan terlihat apatis dengan kejadian yang seperti ini. Mengingat tugas gereja
yang seharusnya memberikan dampak kepada sekelilingnya.
Gereja
harus bisa menjadi tempat jawaban bagi setiap permasalahan manusia, secara
khusus pada kasus perceraian dan pernikahan kembali. Kasus ini sangat familiar
bagi kehidupan manusia dewasa ini. Gereja tidak bisa memperlihatkan sikap
ketidakpeduliannya, gereja harus bisa melakukan pembinaan bagi jemaat dan
pengarahan yang sesuai dengan Firman Tuhan, terutama dalam hal perceraian dan
pernikahan kembali. Dan di sini lah pentingnya peran konseling, karena
konseling merupakan salah satu kunci untuk memberikan arahan dan pengertian
kepada jemaat.
Gereja
pun tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan yang semena-mena atau
sembarangan. Masalah ini adalah masalah yang sangat serius, karena sangat jelas
bahwa Allah sendiri tidak menghendaki adanya perceraian dalam kehidupan
manusia. Ini lah salah satu tugas gereja dalam kehidupan di dunia ini.
Daftar
Pustaka
Dobson,
James C. Menumbuhkan Pernikahan yang Sehat. Jakarta: Departemen Penerbitan
I.H.O., 1996.
End,
Van Den. Harta Dalam Bejana. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991.
Gleiser,
Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Literatur SAAT, 2000.
Hazairin.
Tinjauan Mengenai Undang-Undang
Perkawinan. Bandung: Alumni, 1986.
Lahaye,
Tim. Kebahagiaan Pernikahan Kristen.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Miles,
Herbert J. Sebelum Menikah Pahami Dulu
Seks. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Natan,
Anthony. Diktat Kuliah Doktrin Gereja.
Bandung, STT Bandung, 2011.
Rasjidi,
Lili. Alasan Perceraian menurut UU NO. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Alumni, 1983.
Stott,
John. Isu-Isu Global Menantang
Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.
[1] Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1991), hlm. 16.
[2] Anthony Natan, Diktat Kuliah Doktrin Gereja, (Bandung,
STT Bandung, 2011).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Herbert J. Miles, terj. Suciati,
Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 19.
[6] Tim Lahaye, terj. Jenny
Natanael, Kebahagiaan Pernikahan Kristen,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 112.
[7] James C. Dobson, terj. Sumarso
Santoso, ed. Fangiyati Susanto, Menumbuhkan
Pernikahan yang Sehat, (Jakarta: Departemen Penerbitan I.H.O., 1996), hlm.
4.
[8] John Stott, terj. G.M.A.
Nainggolan, Isu-Isu Global Menantang
Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984),
hlm. 373.
[9] Lili Rasjidi, Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 1.
[10] Ibid., hlm. 2.
[11] Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hlm. 83.
[12] Ibid., hlm. 88.
[13] Norman L. Gleiser, terj.
Rahmiati Tanudjaja, Etika Kristen:
Pilihan dan Isu, (Malang: Literatur SAAT, 2000), hlm. 360.
[14] Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, hlm. 376.
[15] Theodore H., terj. Nehemiah
Mimery, Pernikahan Perceraian dan
Pernikahan Kembali, (Jakarta: Mimery Press), hlm. 59.
[16] Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hlm. 11-21.
[17] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Bandung: Alumni,
1986), hlm. 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar