Jumat, 11 Mei 2012

Tanggapan Gereja terhadap Perceraian dan Pernikahan Kembali


Pada awalnya, pernikahan dianggap sebagai sebuah ritual yang sangat sakral bagi manusia, dimana sepasang manusia (pria dan wanita) dipersatukan untuk satu kali seumur hidup. Namun, jika melihat fenomena-fenomena yang terjadi pada dewasa ini, pernikahan seperti sebuah permainan, dimulai dengan rasa antusias yang besar dan diakhiri jika rasa antusias itu sudah berubah menjadi sebuah rasa pesimis atau bosan, sehingga memilih untuk mengakhiri permainan tersebut.
Perceraian dan pernikahan kembali terkesan sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian manusia di dataran bumi yang fana ini, bahkan gaya hidup seperti ini secara perlahan tapi pasti sudah mulai menjamur di kalangan kekristenan, dan fakta ini lah yang tengah dihadapi oleh gereja Tuhan masa kini.
Sebagai contoh, anak-anak Tuhan yang hidup di daratan Eropa dan Amerika telah lama terjerembab dalam kehidupan perceraian dan pernikahan kembali. Apa yang terjadi saat ini sangat mengherankan, mengingat bahwa pada awalnya kekristenan justru berkembang di sana. Bahkan gaya hidup seperti ini sudah mulai memasuki daerah Asia, secara khusus Indonesia.
Dari fakta yang ada, jelas bahwa pembinaan dan pengarahan yang dilakukan gereja-gereja tentang pernikahan dan perceraian yang sesuai dengan firman Tuhan sangatlah minim. Gereja masih terlalu setia pada “perkara-perkara kecil”, sehingga tanpa disadarinya gereja melupakan “perkara-perkara besar” yang sudah menanti mereka.
Yang menjadi perhatian penulis adalah mengapa pernikahan dan perceraian telah menjelma menjadi awan, mudah ditemukan dan menjadi hal yang biasa di kehidupan manusia saat ini, khususnya di kekristenan? Apakah ada syarat-syarat yang berlaku yang mengatur terjadinya pernikahan dan perceraian? Lalu, apa yang harus dilakukan gereja Tuhan untuk menjawab atau minimal menengahi permasalahan yang sedang berkembang, khususnya perceraian dan pernikahan kembali?
Dalam makalah ini penulis akan mencoba untuk memberikan solusi bagi permasalahan ini, tepatnya pada pergulatan eksistensi gereja dalam konteks Indonesia yang diperlengkapi dengan dasar-dasar yang teologis.
Gereja
Pengertian
Dewasa ini gereja lebih dikenal sebagai sebuah bangunan yang dibangun sangat gagah dan dihiasi dengan barang-barang mewah. Dan yang lebih mengenaskan adalah orang-orang yang telah percaya kepada Kristus pun sedikit banyak tidak mengetahui pengertian gereja dan tugas gereja bagi umat-Nya.[1]
Pengertian gereja sendiri dibagi menjadi dua, yaitu visible church dan invisible church. Visible church adalah gereja yang terlihat, semisal gereja yang dibatasi oleh tembok-tembok dan atap. Dan invisible church adalah gereja yang terlihat. Maksudnya adalah orang-orang yang sudah percaya kepada Kristus dan yang siap atau tengah melakukan misi Tuhan di bumi ini. Akan tetapi, jika kita mengacu kepada bahasa aslinya (ekklesia), gereja memiliki arti dipanggil keluar. Dipanggil untuk berkumpul menjadi sebuah persekutuan yang mengabarkan kabar bahagia atau Injil. Permasalahannya sekarang, apakah mengabarkan Injil hanya bisa menggunakan satu metode, yaitu penginjilan secara verbal? Jawabannya adalah tidak. Dalam Matius 28 manusia diajarkan untuk mengajar mereka dan melakukan segala sesuatu, dengan kata lain bahwa gereja Tuhan harus merasuk ke setiap aspek kehidupan, mau atau tidak, suka atau tidak, dengan catatan sesuai dengan perintah Tuhan.
Dasar dan Tujuan
Di dalam Alkitab ada beberapa ayat yang jika dibaca dengan sungguh-sungguh memiliki indikasi ke arah tujuan gereja. Akan tetapi penulis hanya mengambil dari dua ayat, yaitu Matius 28:19-20.
Dalam bagian ini Tuhan Yesus ingin memberitahu bahwa tugas manusia yang telah percaya kepada-Nya tidaklah sederhana, karena orang-orang yang mengikutinya haruslah mengikuti apa yang telah diperintahkan-Nya. Dalam bagian ini pun Tuhan Yesus ingin menyampaikan bahwa orang-orang (invisible church) yang telah percaya kepada-Nya dan yang telah mengalami pertobatan harus menyebarkan Injil dan membaptis orang yang belum mengenal Injil, lalu mengajari apa yang telah Tuhan Yesus ajarkan kepada para Rasul. Bukan hanya itu, bahkan orang percaya pun harus bisa memberikan pengaruh positif kepada sekelilingnya (Matius 5:16). Dengan kata lain, gereja harus menyesuaikan diri dengan pergulatan konteks, tapi dengan tidak mengurangi makna Injil yang sebenarnya.
Tugas
Gereja yang berdiri atas dasar Kristus memiliki tiga tugas, yaitu up-reach (hubungan gereja dengan Allah), in-reach (hubungan gereja dengan jemaat), dan out-reach (hubungan gereja dengan yang di luar gereja). Namun yang dapat dilihat, saat ini gereja hanya lebih fokus dengan up-reach atau in-reach, atau bahkan keduanya. Gereja seakan melupakan tugasnya yang lain, yaitu untuk peduli dengan sekitarnya, dengan lingkungan dimana gereja berada. Sedangkan Kristus sendiri mengutus murid-murid-Nya untuk menjadi terang dan garam di tengah dunia, tapi gereja terlihat seperti tidak mengindahkannya.
Up-reach[2]
Gereja didirikan berdasarkan Kristus, sehingga gereja butuh menjalin hubungan yang baik dengan Kristus. Akan tetapi bukan berarti gereja yang berinisiatif untuk memulai menjalin hubungan itu, melainkan Kristus sendiri yang berinisiatif. Sejak inilah gereja diberi kepercayaan untuk menjadi sarana pelaku firman Tuhan dan dianggap sebagai wakil Tuhan bagi kaum awam.
In-reach[3]
Selain memiliki tugas memperhatikan hubungannya dengan Kristus, gereja pun memiliki tugas untuk memperhatikan jemaat yang dipercayai oleh Kristus kepadanya. Gereja sebagai sarana yang dipakai Kristus dan bertanggung jawab pada pertumbuhan jemaat, baik dalam iman maupun pemahaman yang benar tentang firman Tuhan. Bahkan pada masa tertentu, gereja harus bisa menjadi pihak yang dapat menyelesaikan segala masalah yang tengah terjadi di jemaat.
Out-reach[4]
Dan tugas yang ketiga dari gereja adalah dimana gereja pun harus membangun relasi yang baik dengan orang-orang atau kelompok-kelompok di luar gereja. Alasannya adalah karena Kristus sendiri pun tidak mengasingkan diri-Nya dengan orang-orang dunia, bahkan Dia pun hidup dan bergaul dengan orang-orang dunia. Dengan peristiwa ini, gereja diminta untuk lebih peduli terhadap sekitarnya, bukan hanya dengan dirinya sendiri, sehingga tidak dapat menjadi berkat bagi sekitarnya. Gereja pun diminta untuk dapat turun ke bawah dan memperhatikan, serta merasakan pergulatan-pergulatan yang sedang terjadi dengan masyarakat setempat.
Pernikahan
            Bagi kaum awam, pernikahan adalah sebuah ritual agama yang layak atau bahkan harus dilakukan oleh setiap manusia, dimana sepasang kekasih dipersatukan dengan janji-janji suci di sebuah tempat yang dianggap sebagai tempat yang sakral, atau tempat-tempat ibadah.
Pernikahan Secara Kristen
Pernikahan adalah salah satu sakramen (tanda) dari dua sakramen yang diakui oleh Kristen. Pernikahan diberkati di gereja dan oleh seorang pendeta, dan dibangun dari cinta dua insan yang dipersatukan oleh Tuhan. Dengan kata lain, pernikahan adalah sebuah sesuatu yang kudus. Dan apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun.
Sebelum memasuki jenjang pernikahan, kedua calon mempelai seyogyanya harus melewati masa konseling. Konseling yang dilakukan biasanya dipimpin seorang pendeta atau gembala setempat. Pada masa konseling, kedua calon mempelai akan diberikan beberapa pertanyaan, termasuk kesungguhan yang satu dengan yang lainnya, bahkan bisa sampai pada konseling tentang masalah yang sifatnya sangat pribadi, yaitu seks.[5]
Pernikahan Kristen pasti menjadi berkat ketika sepasang suami isteri menerapkan prinsip-prinsip firman Tuhan di dalam kehidupan keluarganya[6], serta menjadikan doa sebagai sesuatu yang esensial dalam memelihara rumah tangga yang berpusatkan pada Kristus.[7] Bukan hal yang mudah, apalagi saat keluarga ini harus menghadapi masalah-masalah yang memang memaksa mereka untuk tidak lagi menjadi orang yang berpikir idealis, tapi yang memaksa mereka untuk menjadi orang yang berpikir realistis. Jika sebuah pernikahan memang dibangun atas dasar cinta dan kasih Tuhan, maka sebesar dan sebanyak apa pun permasalahan yang terjadi pasti dapat diselesaikan dengan baik. Pernikahan Kristen pun tidak hanya bicara tentang janji antara manusia, melainkan janji antara manusia (kedua calon mempelai) dengan Tuhan yang mempersatukan mereka.
Rumusan alkitabiah yang paling mendekati sasaran tentang pernikahan terdapat dalam Kejadian 2:24, yang dikemudian hari dikutip oleh Yesus, tatkala Ia ditanyai tentang dasar-dasar alkitabiah yang dapat dijadikan alasan yang absah untuk perceraian (Matius 19:4-5).[8] Langsung sesudah Allah menciptakan Hawa dan membawanya kepada Adam, lalu Adam mengenalinya sebagai tema pemberian Allah untuk sehidup semati, maka sambung narator: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
Berdasarkan ayat ini dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa bagi Allah, pernikahan adalah ketika seorang laki-laki memisahkan diri dari orangtuanya untuk menyatu dengan istrinya dan menjadi sedaging dengan dia. Akan tetapi, ada ketidaksamaan yang esensial antara keduanya. Sebab, ungkapan alkitabiah “satu daging” menandakan bahwa kesatuan suami-istri secara fisik, emosional, dan sosial daripada relasi antara anak-anak dengan orangtua. Khalayak semakin menyadari bahwa perkembangan menjadi seorang manusia menuntut separasi emosional tertentu dari orangtua.
Jadi Kejadian 2:24 mengimplikasikan bahwa pernikahan adlaah ikatan yang eksklusif, dengan sepengetahuan orang banyak, permanen, mencapai kegenapannya melalui persetubuhan. Dengan demikian, arti dari pernikahan yang alkitabiah adalah pernikahan adalah suatu ikatan janji yang eksklusif dan heteroseksual antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah, didahului oleh kepergian meninggalkan orangtua dengan sepengetahuan orang banyak, mencapai kegenapannya yang sepenuhnya dalam persetubuhan, menjadi suatu pasangan yang permanen saling menopang, dan biasanya dimahkotai dengan penganugerahan anak-anak.
Pernikahan Menurut Undang-Undang di Indonesia
   Setiap kejadian yang terjadi (khususnya) di Indonesia tidak lepas dari pengaruh undang-undang yang telah dibuat dan disepakati oleh pemerintah. Undang-undang ini dibuat guna mengatur kehidupan masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Undang-undang yang dibuat dan disepakati pun sudah dipertimbangkan baik dan buruknya, serta disetarakan dengan Pancasila dan juga pada prinsip-prinsip agama yang berlaku di Indonesia, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang banyak dihuni oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pemahaman tentang agama yang berbeda.
Pernikahan dirumuskan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[9] Oleh karena merupakan ikatan lahir batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan untuk memuaskan nafsu biologis semata, akan tetapi merupakan sesuatu yang sakral.
Tujuan pernikahan tersebut hanya mungkin dicapai jika di antara suami dan istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Dalam setiap pernikahan (pada umumnya) terdapat tiga aspek penting, yaitu aspek hukum (legal aspect), aspek sosial (social aspect), dan aspek agama atau kepercayaan (religious aspect).[10]
Dari segi hukum, pernikahan  merupakan suatu ikatan perjanjian di antara seorang pria dan seorang wanita dengan terlebih dahulu adanya keharusan dipenuhinya beberapa syarat yang diperlukan seperti adanya kata sepakat, dan lain sebagainya. Selain itu, hukum juga mengatur tentang akibat-akibat jika ikatan perjanjian tersebut ternyata tidak dipenuhi. Dari  aspek sosial, pernikahan itu memberikan pada seorang wanita status yang lebih tinggi di masyarakat dari statusnya sebelum nikah, terdapatnya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berpoligami seperti yang terjadi semasa sebelum Islam, dan anjuran dari Rasul terhadap mereka yang mampu untuk melakukan suatu pernikahan. Sedangkan dari aspek agama, pernikahan bukan hanya sekedar suatu ikatan perjanjian semata, melainkan juga merupakan sesuatu yang sakral sifatnya.
Jika beracu pada undang-undang yang telah ada, orang-orang yang ingin melakukan pernikahan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Pada pasal 6, sangat jelas bahwa pernikahan dapat dilangsungkan apabila kedua pihak mendapatkan izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Akan tetapi undang-undang ini tidak akan berlaku lagi jika agama yang dianut oleh sang calon memiliki ketentuan-ketentuan yang lain.
Pada pasal 7, pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapati umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur enam belas tahun. Jika ada yang merasa dirugikan, pihak yang dirugikan dapat menuntut melalui jalur hukum.
Negara pun memberikan kriteria-kriteria bagi pernikahan yang tidak diizinkan oleh negara, yaitu:[11]
1.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan darah dalam garis keturunan menyamping, seperti antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, dan menantu.
4.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
5.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6.      Kedua calon mempelai memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang nikah.
Pernikahan pun bisa dibatalkan, jika syarat-syarat yang berlaku tidak dapat dipenuhi oleh kedua belah pihak calon mempelai. Ini tercantum pada pasal 28 ayat 1 dan 2. Yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, suami atau istri, dan pejabat yang berwenang hanya selama pernikahan belum diputuskan. Dan pembatalan ini diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana pernikahan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat pernikahan.[12] Dan masih banyak lagi yang berpeluang untuk membatalkan sebuah pernikahan.
Perceraian
Perceraian adalah sebuah keputusan yang menjadikan adanya perpisahan antara suami dengan istrinya, perpisahan fisik. Perceraian adalah sebuah jalan yang pada saat ini sangat mudah untuk ditemui di kehidupan manusia kini, mulai dari orang yang keadaan ekonominya kuat hingga pada level orang yang keadaan ekonominya tidak stabil, bahkan lemah.
Perceraian Secara Kristen
Tentu kata perceraian masih terdengar asing bagi kalangan Kristen, karena banyak dari mereka yang mempercayai bahwa apa yang telah disatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun. Jadi dalam kondisi apa pun, perceraian tidak akan pernah terjadi di kekristenan. Pernyataan seperti ini sangat keliru, ini mencerminkan bahwa orang-orang yang memiliki pendapat seperti ini tidak membuka mata kepada apa yang terjadi pada kekristenan, secara khusus di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kini kekristenan telah terjerembab pada masalah perceraian, baik itu jemaat awam, maupun pemimpin rohani atau gereja. Mengapa bisa orang Kristen terjebak dalam perceraian? Karena orang Kristen memiliki keterbatasan. Ini adalah jawaban yang sering orang dengar. Tapi jika diselidiki lebih dalam lagi, penyebab perceraian adalah salah satu atau bahkan keduanya tidak dapat lagi menerima perbedaan dan kekurangan dari pasangannya, dan pada posisi seperti ini yang patut disalahkan adalah pihak gereja. Karena dengan peristiwa seperti ini, gereja menunjukkan bahwa sebenarnya mereka tidak peduli terhadap pernikahan, atau dapat dibilang itu sebagai “tugas sampingan” dari para pemimpin gereja.
Kitab Ulangan 24:1-4 adalah bagian Alkitab ynag menunjuk kepada alasan atau prosedur untuk perceraian.
Butir pertama yang perlu diperjelas ialah sasaran peraturan atau hukum ini. Hukum ini tidak menuntut, tidak melarang, bahkan tidak mengizinkan perceraian.[13] Keprihatinannya yang pertama sekali-kali tidak ada sangkut-pautnya dengan perceraian, bahkan tidak dengan surat cerai. Tujuannya ialah melarang laki-laki untuk mengawini ulang mantan istrinya, karena bila ini terjadi, ini adalah sebuah kekejian di hadapan Allah.
Kedua, meskipun perceraian tidak dianjurkan, namun itu terjadi, dan alasannya bisa karena si suami mendapati sesuatu yang “tidak senonoh” pada istrinya. Bila diteliti arti kata senonoh, artinya bukanlah seperti yang dibayangkan oleh banyak kalangan, bukan tentang seks, karena jika tentang seks, yang pasti diterima oleh sang istri bukanlah surat cerai, melainkan hukuman mati. Jadi yang dimaksud dengan senonoh adalah tindakan yang ceroboh dan malas.[14]
Perceraian itu diperbolehkan atau ditolerir, atau diizinkan, tetapi tidak pernah ditetapkan sebagai bagian dari rencana Allah untuk sebuah pernikahan.[15] Perceraian bukan merupakan peraturan Allah yang ditetapkan untuk ditambahkan kepada prinsip pernikahan yang sesungguhnya. Ia merupakan suatu peraturan yang mengizinkan dan yang dibuat untuk mengawasi praktek keji yang sudah biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir dan yang dapat merusak kehidupan rumah tangga kalau hal itu terus diperbolehkan.
Perceraian Menurut Undang-Undang di Indonesia
Hukum negara mengizinkan adanya perceraian, tapi perceraian dapat dilaksanakan apabila syarat-syarat yang berlaku dilewati. Syarat-syaratnya antara lain:[16]
1.      Jika salah satu dari pasangan itu melakukan zinah, pemabuk, pemadat, penjudi, dan kegiatan yang merugikan lainnya. Adakalanya agar perceraian dapat terkabul, pihak-pihak yang bersengketa yang masing-masing menghendaki terjadinya perceraian itu mengajukan suatu bukti salah satu pihak telah melakukan perzinahan yang sesungguhnya perzinahan itu belum tentu terjadi. Di dalam kitab undang-undang hukum pidana, tindak pidana perzinahan diklasifikasikan sebagai delik aduan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain untuk masa dua tahun tanpa meninggalkan yang lain untuk masa dua tahun tanpa izin dari pihak yang lain. Terdapat beberapa syarat penting untuk dapat digunakan alasan ini, yaitu harus tanpa izin pihak yang lain yang ditinggalkan, tanpa sebab yang sah, dan karena hal lain di luar kemauannya. Jika diperhatikan alasan-alasan ini dihubungkan dengan ketentuan lama yang pernah berlaku, nampaklah bahwa undang-undang perkawinan baru mengambil alasan ini dari ordonansi Kristen Indonesia sebagaimana yang termuat dalam pasal 56 ayat 2.[17]
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat. Ketentuan ini diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 211. Penentuan lamanya lima tahun dinilai cukup beralasan oleh karena waktu lima tahun dianggap cukup baik bagi kedua pihak untuk menentukan apakah perkawinan mereka akan diteruskan atau diakhiri.
4.      Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat.
5.      Mendapat cacat badan atau penyakit berat. Ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah bahwa harus yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6.      Perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus. Nampaknya alasan ini pun memerlukan suatu penjelasan. Masih menjadi pertanyaan apakah yang diartikan dengan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus ini. Undang-Undang Perkawinan pun tidak memberikan penjelasannya. Jadi, mutlak bahwa ini adalah tugas para hakim yang akan menafsirkan dan mempertimbangkan segalanya.

Tanggapan Gereja
Melihat fakta yang ada, terlihat sangat miris dan ironis apabila gereja hanya terdiam dan terlihat apatis dengan kejadian yang seperti ini. Mengingat tugas gereja yang seharusnya memberikan dampak kepada sekelilingnya.
Gereja harus bisa menjadi tempat jawaban bagi setiap permasalahan manusia, secara khusus pada kasus perceraian dan pernikahan kembali. Kasus ini sangat familiar bagi kehidupan manusia dewasa ini. Gereja tidak bisa memperlihatkan sikap ketidakpeduliannya, gereja harus bisa melakukan pembinaan bagi jemaat dan pengarahan yang sesuai dengan Firman Tuhan, terutama dalam hal perceraian dan pernikahan kembali. Dan di sini lah pentingnya peran konseling, karena konseling merupakan salah satu kunci untuk memberikan arahan dan pengertian kepada jemaat.
Gereja pun tidak diperkenankan untuk mengambil keputusan yang semena-mena atau sembarangan. Masalah ini adalah masalah yang sangat serius, karena sangat jelas bahwa Allah sendiri tidak menghendaki adanya perceraian dalam kehidupan manusia. Ini lah salah satu tugas gereja dalam kehidupan di dunia ini.



















Daftar Pustaka
Dobson, James C.  Menumbuhkan Pernikahan yang Sehat. Jakarta: Departemen Penerbitan I.H.O., 1996.
End, Van Den. Harta Dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.
Gleiser, Norman L.  Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang: Literatur SAAT, 2000.
Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan. Bandung: Alumni, 1986.
Lahaye, Tim. Kebahagiaan Pernikahan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Miles, Herbert J. Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Natan, Anthony. Diktat Kuliah Doktrin Gereja. Bandung, STT Bandung, 2011.
Rasjidi, Lili. Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Alumni, 1983.
Stott, John. Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.


[1] Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 16.
[2] Anthony Natan, Diktat Kuliah Doktrin Gereja, (Bandung, STT Bandung, 2011).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Herbert J. Miles, terj. Suciati, Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 19.
[6] Tim Lahaye, terj. Jenny Natanael, Kebahagiaan Pernikahan Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 112.
[7] James C. Dobson, terj. Sumarso Santoso, ed. Fangiyati Susanto, Menumbuhkan Pernikahan yang Sehat, (Jakarta: Departemen Penerbitan I.H.O., 1996), hlm. 4.
[8] John Stott, terj. G.M.A. Nainggolan, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984), hlm. 373.
[9] Lili Rasjidi, Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 1.
[10] Ibid., hlm. 2.
[11] Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hlm. 83.
[12] Ibid., hlm. 88.
[13] Norman L. Gleiser, terj. Rahmiati Tanudjaja, Etika Kristen: Pilihan dan Isu, (Malang: Literatur SAAT, 2000), hlm. 360.
[14] Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, hlm. 376.
[15] Theodore H., terj. Nehemiah Mimery, Pernikahan Perceraian dan Pernikahan Kembali, (Jakarta: Mimery Press), hlm. 59.
[16] Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hlm. 11-21.
[17] Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar