Semenjak
manusia jatuh ke dalam dosa, hubungan manusia dan Allah menjadi rusak. Meskipun
beberapa orang mengatakan bahwa bukan hubungan antara manusia dan Allah saja
yang rusak, melainkan pikiran pun ikut menjadi rusak, maka setiap pilihan atau
apa pun yang dipikirkan dan dilakukan manusia menjadi salah. Akan tetapi, jika
diteliti lebih kritis lagi, hanya hubungan manusia dengan Allah saja yang
rusak. Mengapa?
Karena apa yang dipikirkan dan yang diperbuat oleh manusia
tidak selalu salah, melainkan ada yang benar di antaranya, sebagai contoh adalah
baptisan.
Baptisan
adalah satu sakramen di antara beberapa sakramen. Sakramen sendiri memiliki
pengertian sebuah tanda yang diberikan, agar manusia memiliki tanda bahwa ia
telah diselamatkan. Katolik dan Protestan memiliki pendapat yang berbeda dalam menentukan
jumlah sakramen, seperti yang sudah diketahui bahwa Katolik menyetujui bahwa
sakramen ada tujuh, sedangkan Protestan hanya menyetujui tiga sakramen, di
antaranya adalah sakramen Perjamuan Kudus, sakramen Baptisan, dan sakramen
Pernikahan.
Meskipun kedua kepercayaan
menyetujui adanya sakramen Baptisan, bukan berarti tidak ada masalah di
dalamnya. Dalam Protestan ada dua metode baptisan yang sah, yaitu baptisan percik dan baptisan selam.
Dalam makalah ini, bukan dua
metode di atas yang menjadi landasan penulis berkarya, melainkan baptisan anak,
karena terjadi pro dan kontra dalam beberapa denominasi gereja atau bahkan
personal.
Apa maksud dari baptisan anak?
Mengapa ada baptisan anak? Lalu apakah ada dasar alkitabiah di dalamnya? Jika
ada, apakah ada batasan umur dalam baptisan anak? Dan apa pandangan dari Ulrich
Zwingli dan John Calvin tentang baptisan anak?
Dalam makalah ini, penulis akan
berusaha untuk menjelaskan semua dengan jelas dan serinci mungkin.
Allah
dan Kejatuhan Manusia
dalam
Dosa
Hubungan
antara Allah dengan Manusia Sebelum Berdosa
Sudah menjadi cerita
turun-temurun dibeberapa kalangan umat beragama bahwa manusia diciptakan oleh
Allah. Allah adalah sebuah pribadi yang menciptakan segalanya di dalam dunia
ini, tanpa terkecuali.
Dalam
kitab suci orang Kristen (Alkitab) dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk atau
sesuatu yang diciptakan Allah dengan nomor urut terakhir atau pada hari keenam.
Manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah yang menciptakannya, sehingga
wajar jika manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna, karena dari sekian
makhluk ciptaan Allah, hanya manusia saja yang dipercaya untuk berpikir.
Pada
saat manusia belum terjatuh dalam dosa, tidak diketahui secara pasti apakah
Allah pernah melakukan komunikasi tatap-muka dengan manusia atau tidak. Tapi
yang Alkitab catat adalah hubungan antara Allah dengan manusia adalah baik, di
mana Allah masih melakukan komunikasi intensif dengan manusia. Sebagai contoh
adalah saat manusia diciptakan dan Allah melihat bahwa manusia membutuhkan
pendamping dalam hidupnya, maka Allah mengambil tanah untuk menciptakan
binatang hutan dan burung (Kejadian 2:18-19) untuk dinamainya. Akan tetapi,
manusia tidak menemukan pendamping yang sepadan baginya, maka Allah membuatnya
tertidur. Dan saat pada manusia tertidur, diambil satu dari tulang rusuk
manusia itu dan diciptakan-Nya seorang manusia lagi yang Ia beri nama
perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (ay. 21-23).
Dan
kedua insan itu tinggal di sebuah taman yang sangat indah kondisinya, di mana
terdapat sebuah sungai yang guna untuk membasahi taman tersebut. Sungai
tersebut memiliki empat ruas atau cabang (ay. 10-14). Lalu di dalam taman pun
ditanam segala jenis pohon beserta dengan buahnya untuk dimakan oleh manusia,
kecuali pohon pengetahuan (ay. 15-17).
Hubungan
antara Allah dengan Manusia Saat Manusia Berdosa
Allah
menciptakan ular yang ada di salah satu pohon di taman itu. Ular adalah
binatang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Allah
(3:1). Binatang ini yang dianggap sebagai biangkerok kejatuhan manusia,
setidaknya oleh banyak kaum awam.
Manusia
pertama, Adam dan Hawa sedang berada di dalam Taman Eden, dan ketika itu mereka
melewati sebuah pohon yang ada seekor ular. Terjadi percakapan di antara
manusia dan ular, dan sebagai hasilnya manusia memakan buah dari pohon yang
telah dilarang oleh Allah. Alhasil, mereka pun jatuh ke dalam dosa, sebab
mereka telah melanggar apa yang telah Allah perintahkan. Dan seketika itu juga
Allah datang mencari manusia untuk meminta pertanggungjawaban dari perbuatan
mereka.
Bukan
langsung menghadap dan mengaku, melainkan Adam dan Hawa bersembunyi karena
mereka malu akan ketelanjangan dan kesalahan mereka. Semenjak peristiwa manusia
jatuh ke dalam dosa, Allah memisahkan diri dengan manusia, sebab manusia sudah
tidak kudus lagi di hadapannya. Sesaat setelah manusia menjadi makhluk yang
berdosa, Allah mengusir mereka dari Taman Eden, sebab sesuatu yang kudus tidak
dapat bersatu dengan sesuatu yang tidak kudus. Mulai saat itu hubungan Allah
dengan manusia tidak lagi harmonis, seperti sebelum manusia jatuh ke dalam
dosa.
Penyertaan
Allah Kepada Manusia
Merupakan
Simbol Kasih Sejati
Perjanjian
Allah dengan Manusia
Setelah
kejadian di Taman Eden dan manusia diusir dari taman, Allah tidak semata-mata
membiarkan manusia hidup dalam keberdosaannya, tapi Allah tetap mengasihi
manusia dengan cara menyertai mereka.
Sebagai
bukti, Allah melakukan perjanjian dengan manusia. Perjanjian dilakukan antara
Allah dengan manusia melalui pemimpin yang telah Allah pilih sendiri, semisal
perjanjian dengan Nuh, Abraham, dan Musa.
Perjanjian
dilakukan karena Allah ingin manusia tidak binasa, melainkan Allah ingin agar
manusia selamat dari segala bentuk dosa. Dalam perjanjian dibutuhkan kesiapan
bukan hanya dari satu pihak, melainkan kedua pihak harus menyanggupi segala
syarat yang ada dalam perjanjian. Dalam perjanjian kedua pihak harus
menjalaninya dengan kesadaran, bukan dengan keterpaksaan. Jika salah satu pihak
melanggar perjanjian yang telah disepakati, maka pihak yang melanggar harus
bersedia untuk menerima konsekuensi yang telah disepakati diawal perjanjian.
Yang
perlu diingat dalam perjanjian antara Allah dengan manusia adalah bahwa Allah
yang selalu berinisiatif untuk melakukan perjanjian. Dan hal ini mengingatkan
akan hubungan antara Allah dengan manusia, yang selalu dimulai dari
keinisiatifan Allah.
Perjanjian
Allah dengan Nuh
Setelah
manusia jatuh ke dalam dosa, perlakuan manusia menjadi sangat jahat dan
mendukakan hati Allah dan membuat Allah menyesali hasil ciptaan-Nya (Kejadian
6:7), sehingga membuat Allah menjadi murka dan ingin menghancurkan bumi dan
segala isinya. Akan tetapi Nuh mendapatkan kasih karunia di hadapan Allah,
sehingga Allah “mengurungkan” niat-Nya untuk menghancurkan bumi dan isinya.
Sebagai
simbol dari kasih-Nya, Allah memilih Nuh untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Ia
diperintahkan untuk membuat sebuah bahtera yang berukuran raksasa, tanpa
penolakan sedikitpun ia menaatinya.
Meskipun
dihina oleh masyarakat sekelilingnya, tapi Nuh tidak mempedulikannya dan terus
melakukan proyek yang telah dipercaya Allah kepadanya. Perlu diingat bahwa saat
Nuh mengerjakan itu, Nuh belum mengetahui apa pun tentang rencana Allah.
Allah
berjanji kepada Nuh untuk menyelamatkan dia dan keluarganya dan
binatang-binatang yang dipilih Allah yang masuk ke dalam bahtera, sebab Allah
akan menurunkan hujan lebat selama empat puluh hari empat puluh malam dan air
bah akan menutupi bumi selama tujuh hari.
Setelah
bumi mengalami massa hukuman yang diberikan Allah, Allah menggenapi janji-Nya.
Dan setelah Nuh dan keluarganya dan segala isi bahtera keluar dari bahtera,
Allah mengadakan perjanjian lagi dengan Nuh, yaitu Allah berjanji tidak akan
memusnahkan isi bumi dengan air bah, dan sebagai simbol dari perjanjian itu
Allah membuat pelangi.
Perjanjian
Allah dengan Abraham
Perjanjian
antara Allah dengan Abraham dimulai dari pasal 12 dalam Kitab Kejadian, di mana
Allah memanggil Abraham untuk keluar dari negerinya. Reaksi yang diberikan
Abraham ketika mendapatkan panggilan tersebut adalah menerimanya. Meskipun
belum tahu tempat yang akan dituju, tapi Abraham memenuhinya dengan rasa hormat
dan rasa taat. Ini dilakukan karena kepercayaan atau iman yang dimiliki Abraham
kepada Allah.
Perjanjian
yang diberikan Allah kepada Abraham adalah Abraham akan dijadikan bapa dari
seluruh bangsa dan memiliki keturunan sebanyak bintang di langit, dari Abraham
pula akan lahir raja-raja. Jika dilihat dari setiap janji yang Allah berikan,
semua tergenapi. Satu dari sekian bukti adalah lahirnya raja-raja yang
memerintah bumi.
Sebagai
tanda dari perjanjian, setiap anak laki-laki harus disunat (Kejadian 17:10),
dan yang tidak bersunat harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya.
Inilah cikal-bakal budaya Yahudi kelak yang mengharuskan setiap anak laki-laki
harus disunat. Memang tidak dapat dipahami hubungan antara perjanjian dengan
sunat, tapi sama halnya dengan pelangi, bahwa sunat merupakan tanda Allah telah
melakukan perjanjian dengan manusia.
Penyunatan
merupakan semacam lambang dari peraturan yang kelak menjadi tanda bagi
janji-janji Allah, sama dengan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Semuanya ini
mengungkapkan keinginan Allah untuk bersekutu dengan umat perjanjian-Nya. Dan
walaupun perjanjian ini tidak bersyarat, Allah tidak akan pernah melupakan
setiap janji-Nya.
Perjanjian
Allah dengan Musa
Musa
adalah seorang manusia yang lahir dari keluarga yang biasa, hanya yang
membedakan dia dengan manusia lain pada zamannya adalah Musa diasuh oleh
keluarga bangsawan, yaitu Raja Firaun, dan Musa dipilih Allah untuk memimpin
bangsa Israel keluar dari Mesir.
Status
bangsa Israel ketika berada di Mesir adalah sebagai budak. Ini adalah alasan mengapa
Allah ingin mengeluarkan bangsa Israel yang kelak menjadi bangsa pilihan-Nya.
Akan tetapi, pilihan ini juga merupakan pernyataan bahwa Allah mengingat
perjanjian-Nya dengan para leluhur, seperti ada dalam Kitab Keluaran. Allah pun
bukan sosok yang tidak bertanggungjawab kepada umat-Nya. Ia tetap memelihara
bangsa Israel selama pelarian hingga sampai ke tempat yang telah dijanjikan,
yaitu Kanaan.
Kristus
Sebagai Pembaharuan
dari
Segala Janji Allah
Nubuat
Kedatangan Kristus
Dalam
Perjanjian Lama bukan hanya ditulis tentang apa yang terjadi pada masa itu,
melainkan ditulis juga tentang kedatangan Mesias (Kristus), bukan hanya
kedatangan pertama, tapi kedatangan kedua pun sudah ditulis. Selain menjadi
wakil Allah di dunia dalam menyuarakan suara Allah secara verbal, nabi juga
bertugas untuk menuliskan tentang kedatangan Kristus, tugas ini dikenal dengan
nubuatan para nabi.
Kelahiran
Yesus Kristus
Kristus
dilahirkan dari keluarga Yahudi yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ia lahir
bukan dari keinginan laki-laki dan perempuan, melainkan dari Roh Kudus. Maria
mengandung Kristus ketika ia dan Yusuf
baru bertunangan. Ini adalah proses kelahiran Kristus di bumi.
Dan
kedatangan Kristus ke dunia pun menjadi penggenapan dari nubuatan para nabi di
era Perjanjian Lama.
Kontroversi
Seputar Yesus Kristus
Dalam
literatur Kristen abad mula-mula, Kristus disebutkan sebagai Allah dan manusia,
Anak Manusia, juga Anak Allah. Keberadaan-Nya yang tanpa dosa terus dipegang
teguh, dan Ia adalah tujuan penyembahan yang paling benar. Memang, masalah yang
timbul tentang Kristu, yang pada saat yang sama adalah Allah dan juga manusia,
dan kesulitan-kesulitan yang tercakup dalam konsep ini, belum sepenuhnya
dirasakan oleh orang Kristen abad mula-mula tersebut. Mereka hanya melihatnya
sebagai suatu kontroversi. Wajar saja jika Yudaisme dengan tekanan
monoteistiknya memberi banyak pengaruh pada orang Kristen mula-mula yang
berlatar belakang Yahudi. Kaum Ebionit (atau sebagian dari mereka), terpaksa
menyangkal keilahian Kristus. Mereka menganggap-Nya sebagai manusia biasa, anak
dari Yusuf dan Maria, yang memperoleh kualitas-Nya setelah dibaptiskan menjadi
Mesias, oleh karena Roh Kudus yang turun ke atas-Nya.
Pada
zaman gereja mula-mula, ada lagi kelompok lain yang memiliki doktrin Kristologi
yang disusun atas dasar yang mirip dengan kaum Ebonit. Kaum Alogi menolak
tulisan-tulisan Yohanes, sebab mereka menganggap doktrin tentang Logos
bertentangan dengan seluruh Perjanjian Baru. Mereka juga menganggap bahwa Yesus
hanyalah manusia biasa, walaupun secara ajaib dilahirkan oleh seorang perawan,
dan mereka mengajarkan bahwa Kristus turun ke atas Yesus pada saat baptisan,
menyebabkan Dia memiliki kekuatan supranatural. Pada umumnya, pendapat ini sama
dengan pendapat Monarkhi Dinamis.
Dari
sudut pandang penyangkalan ini, maka tugas para tokoh apologetika pada abad
mula-mula adalah mempertahankan doktrin keilahian Kristus.
Bukan
hanya asal Kristus yang dipertanyakan, tapi baptisan yang dilakukan Kristus pun
menjadi sebuah pertanyaan, bahkan kontroversi. Mengingat dalam keyakinan iman
Kristen bahwa Kristus adalah Anak Allah, tapi justru Kristus dibaptis oleh
manusia biasa, Yohanes Sang Pembaptis.
Selepas
dari kontroversi baptisan, tapi iman Kristen tetap mengakui baptisan adalah
lambang bahwa orang yang meneriman sakramen baptisan adalah orang yang sudah mampu
untuk memproklamirkan imannya.
Sakramen
Baptis
Pengertian
Sakramen Baptis
Sakramen Baptisan merupakan langkah pertama dan utama menjadi seorang
Kristen. Baptis merupakan sakramen yang memiliki arti “bahasa isyarat” dari
Tuhan. Bahasa isyarat seringkali berbicara lebih kuat dari bahasa-bahasa lain
manapun. Sebab bahasa isyarat sifatnya universal. Dalam sakramen, Tuhan
mempergunakan benda-benda biasa seperti air, roti, minyak dan juga
tindakan-tindakan tertentu untuk berbicara secara langsung kepada jiwa kita.
Tidak seperti bahasa isyarat lainnya, bahasa isyarat Tuhan mempunyai kuasa
untuk mengubah orang yang menerimanya. Namun baptisan pun memiliki arti yang
umum, yaitu sebuah sakramen yang kudus, yang sekali dilakukan oleh manusia yang
terikat perjanjian dengan Allah.
Cikal-bakal Sakramen
Baptis
Apabila
berbicara tentang pembaptisan, biasanya pikiran langsung tertuju kepada Kristus.
Baptis sendiri sesungguhnya sudah ada lama sebelum Yesus, hanya Kristus memberi
perbedaan tersendiri.
Berabad-abad
sebelum Kristus, umat dalam Perjanjian Lama percaya bahwa segala bentuk kontak
dengan dunia luar mencemarkan mereka. Sebelum mereka boleh makan atau berdoa,
terlebih dahulu mereka harus membersihkan diri. Hal ini tampak nyata ketika
mereka berdoa pada hari Sabat.
Orang-orang
Yahudi wajib membersihkan diri mereka dalam suatu kolam ritual yang disebut
mikveh. Kolam tersebut harus diisi dengan air yang mengalir (kadang-kadang
disebut “air hidup”) dan mereka harus menenggelamkan diri sepenuhnya ke dalam
air. Mereka juga memerlukan seseorang untuk menjadi saksi dalam upacara ini.
Kaum pria wajib melakukannya setiap hari Jumat malam, sementara kaum wanita
melakukannya hanya sebulan sekali. Sampai saat ini banyak orang Yahudi yang
saleh masih melakukan praktek ini.
Fungsi Sakramen Baptis
Kesucian atau ketaatan kepada hukum Ilahi adalah suatu
keadaan yang sangat penting yang memastikan kesukaan Ilahi, untuk memperoleh
damai bagi hati nurani, dan menikmati persekutuan dengan Tuhan. Ini adalah
pengertian dari lahir baru, yang seringkali disambung-sambungkan dengan
baptisan.
Fungsi dari sakramen baptisan adalah untuk memberikan
tanda kepada orang yang melaksanakannya bahwa orang tersebut telah masuk ke
dalam perjanjian yang telah Allah buat bagi manusia dan orang tersebut telah
siap untuk mengakui atau memproklamirkan iman Kristen yang dimiliki.
Sakramen Baptisan Anak
dan Pandangan Zwingli dan Calvin
tentang Baptisan Anak
Cikal-bakal Sakramen Baptisan Anak
Baptisan anak atau bayi ada karena sebagai usaha orang
–orang untuk beradaptasi dengan model baptisan Perjanjian Baru, yaitu baptisan
kepada anak-anak. Memang alkitabiah jika melihat alasan mengapa ada baptisan
anak. Namun Gereja Timur memiliki pandangan lain dalam berpendapat adanya baptisan
anak, yaitu bahwa baptisan anak-anak ada karena landasannya keadaan tidak
berdosa dari anak-anak, bukan berlandaskan dosa asal.
Dosa asal? Jika dipikirkan memang ada sangkut-paut antara
baptisan anak dengan dosa asal. Meilhat sejarah bahwa manusia adalah pribadi
yang berdosa, maka dari itu semua keturunan yang dilahirkan dari rahim manusia
pun ikut berdosa, sehingga anak pun butuh pengampunan dan tanda sebagai pribadi
yang terikat perjanjian dengan Allah. Bahkan penulis berpandangan bahwa
baptisan anak muncul karena manusia tidak ada yang mengetahui tentang usia
seseorang, sehingga dibuat baptisan anak dengan bertujuan untuk berjaga-jaga
apabila anak yang baru dilahirkan meninggal atau anak yang tidak sempat
dibaptis pada usia dewasa meninggal.
Pandangan Ulrich Zwingli
Zwingli mau tidak mau harus menghadapi suatu kesulitan
yang nyata dalam hubungan dengan baptisan anak.
Jawaban tradisional terhadap dilema ini adalah apa yang
telah sedikit disinggung di sub-bab sebelumnya, yaitu untuk membersihkan kesalahan
dosa asal. Argumen yang dipersoalkan itu membawa kembali pada Agustinus dalam
awal abad kelima. Sementara itu,. jika Zwingli mengikuti argumen Erasmus, ia
kesulitan dengan pengertian dosa asal dan cenderung pada pandangan bahwa
anak-anak tidak mempunyai dosa asali yang melekat pada didi mereka yang perlu
untuk tidak diampuni. Akibatnya, baptisan anak rasanya tidak mempunyai makna,
kecuali jika nanti muncul alasan pembenaran teoritis lain tentang baptisan
anak.
Zwingli menunjukkan bahwa di dalam Perjanjian Lama bayi
laki-laki disunat dalam beberapa hari sesudah kelahiran mereka sebagai suatu
tanda akan keanggotaan mereka di dalam umat Israel. Sunat merupakan upacara
yang ditetapkan oleh perjanjian dalam Perjanjian Lama untuk mendemonstrasikan
bahwa anak yang telah disunat itu dihisab ke dalam persekutuan perjanjian. Anak
itu telah dilahirkan ke dalam suatu komunitas yang kini memilikinya, dan sunat
meupakan suatu tanda keterhisaban ke dalam komunitas. Zwingli mengembangkan ide
ini dengan menunjukkan bahwa baptisan adalah lebih lembut dari sunat, karena
baptisan tidak melibatkan rasa sakit atau penumpahan darah dan lebih bersifat
inklusif, dalam artian bahwa baptisan mencakup bayi laki-laki dan bayi
perempuan. Baptisan juga merupakan suatu tanda keterhisaban ke dalam suatu
komunitas, dalam hal ini adalah gereja Kristen. Fakta bahwa anak-anak tidak
menyadari akan keterhisaban ini tidak relevan. Ia adalah seorang anggota dari
komunitas Kristen dan baptisan adalah demonstrasi di hadapan umun akan keterhisabannya
sebagai anggota komunitas ini.
Pandangan John Calvin
Calvin berpendapat bahwa sunat dan baptisan adalah sama,
keduanaya adalah perjanjian yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah
menyatakan dengan tegas bahwa penyunatan bayi itu akan bagaikan materai untuk
memeteraikan janji yang terkandung dalam perjanjian itu. Kalau perjanjian itu
tetap teguh dan pasti, maka itu berlaku bagi anak-anak orang Kristen sekarang,
sama seperti hal sunat dulu menyangkut anak-anak orang Yahudi.
Bagi Calvin, manfaat baptisan anak-anak adalah mereka
dimasukkan ke dalam tubuh gereja dan dengan demikian anggota-anggota lain lebih
merasa bahwa mereka dalam arti tertentu dipercayakan kepadanya. Selanjutnya,
jika mereka sudah dewasa, baptisan merupakan dorongan yang tidak kecil bagi
mereka untuk sungguh-sungguh memuja Allah yang telah menerima mereka sebagai
anak-anak-Nya.
Jika memang Calvin memiliki pendapat seperti itu, berarti
sebutan baptisan anak tidak lah pas, karena bukan mereka (anak-anak) yang
mengasah iman mereka, tetapi orang-orang atau sebutan Calvin adalah anggota
anggota tubuh Kristus. Mengingat bahwa butuh “usaha” sendiri dalam
mendemonstrasikan iman yang dimiliki di hadapan umum.
Kesimpulan
Baptisan adalah salah satu dari sakramen yang sakral,
yang diberikan kepada orang-orang yang memang sudah mampu untuk mengerti arti
baptisan yang sejati. Dan baptisan tidak pantas diberikan kepada anak-anak,
karena anak-anak belum mengerti arti baptisan yang sejati, maka sebelum orang
dibaptis, mereka harus mengikuti proses pembelajaran atau yang akrab disebut
dengan katekisasi.
Kata baptisan anak lebih pantas jika diganti menjadi
penyerahan anak, seperti yang dilakukan oleh beberapa gereja. Mengapa? Karena
sebelum atau setelah penyerahan, yang bertugas untuk menanamkan dan menjaga
iman ajaran Kristen pada diri anak adalah orang tua, sampai anak tersebut
bertumbuh menjadi dewasa dan dibaptis, sama seperti pengertian dari baptisan
anak.
Daftar Pustaka
Berkhof, Louis. Teologi
Sistematika Volume 2: Doktrin Manusia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 1995.
Berkhof, Louis. Teologi
Sistematika Volume 3: Doktrin Kristus. Jakarta: Lembaga Reformed Injili
Indonesia, 1995.
Berkhof, Louis. Teologi
Sistematika Volume 4: Doktrin Keselamatan. Jakarta: Lembaga Reformed
Injili, 1997.
Calvin, Johanes. Institutio.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Dyrness, William. Tema-Tema
Dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1979.
Groenen, C. Teologi
Sakramen Inisiasi Baptisan Krisma. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Jeschke, Marlin. Believers
Baptism for Children of the Church. Pennyslvania: Herold Press, 1983.
Jungkuntz, Richard. The
Gospel of Baptism. London: Concordia Publishing House, 1968.
McGrath, E. Alister. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997.
Sagala, Y. Herlise. Classnote Tafsir Kitab Nabi-Nabi.
Bandung: Sekolah Tinggi Teologi Bandung, 2011.
file:///G:/baptisananak.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar