Rabu, 25 Januari 2012

Cikal-Bakal dan Kontroversi Baptisan Anak


            Semenjak manusia jatuh ke dalam dosa, hubungan manusia dan Allah menjadi rusak. Meskipun beberapa orang mengatakan bahwa bukan hubungan antara manusia dan Allah saja yang rusak, melainkan pikiran pun ikut menjadi rusak, maka setiap pilihan atau apa pun yang dipikirkan dan dilakukan manusia menjadi salah. Akan tetapi, jika diteliti lebih kritis lagi, hanya hubungan manusia dengan Allah saja yang rusak. Mengapa?
Karena apa yang dipikirkan dan yang diperbuat oleh manusia tidak selalu salah, melainkan ada yang benar di antaranya, sebagai contoh adalah baptisan.
            Baptisan adalah satu sakramen di antara beberapa sakramen. Sakramen sendiri memiliki pengertian sebuah tanda yang diberikan, agar manusia memiliki tanda bahwa ia telah diselamatkan. Katolik dan Protestan memiliki pendapat yang berbeda dalam menentukan jumlah sakramen, seperti yang sudah diketahui bahwa Katolik menyetujui bahwa sakramen ada tujuh, sedangkan Protestan hanya menyetujui tiga sakramen, di antaranya adalah sakramen Perjamuan Kudus, sakramen Baptisan, dan sakramen Pernikahan.
Meskipun kedua kepercayaan menyetujui adanya sakramen Baptisan, bukan berarti tidak ada masalah di dalamnya. Dalam Protestan ada dua metode baptisan yang sah, yaitu baptisan percik dan baptisan selam.
Dalam makalah ini, bukan dua metode di atas yang menjadi landasan penulis berkarya, melainkan baptisan anak, karena terjadi pro dan kontra dalam beberapa denominasi gereja atau bahkan personal.
Apa maksud dari baptisan anak? Mengapa ada baptisan anak? Lalu apakah ada dasar alkitabiah di dalamnya? Jika ada, apakah ada batasan umur dalam baptisan anak? Dan apa pandangan dari Ulrich Zwingli dan John Calvin tentang baptisan anak?
Dalam makalah ini, penulis akan berusaha untuk menjelaskan semua dengan jelas dan serinci mungkin.

Allah dan Kejatuhan Manusia
dalam Dosa
Hubungan antara Allah dengan Manusia Sebelum Berdosa
            Sudah menjadi cerita turun-temurun dibeberapa kalangan umat beragama bahwa manusia diciptakan oleh Allah. Allah adalah sebuah pribadi yang menciptakan segalanya di dalam dunia ini, tanpa terkecuali.
            Dalam kitab suci orang Kristen (Alkitab) dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk atau sesuatu yang diciptakan Allah dengan nomor urut terakhir atau pada hari keenam. Manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Allah yang menciptakannya, sehingga wajar jika manusia disebut sebagai makhluk yang sempurna, karena dari sekian makhluk ciptaan Allah, hanya manusia saja yang dipercaya untuk berpikir.
            Pada saat manusia belum terjatuh dalam dosa, tidak diketahui secara pasti apakah Allah pernah melakukan komunikasi tatap-muka dengan manusia atau tidak. Tapi yang Alkitab catat adalah hubungan antara Allah dengan manusia adalah baik, di mana Allah masih melakukan komunikasi intensif dengan manusia. Sebagai contoh adalah saat manusia diciptakan dan Allah melihat bahwa manusia membutuhkan pendamping dalam hidupnya, maka Allah mengambil tanah untuk menciptakan binatang hutan dan burung (Kejadian 2:18-19) untuk dinamainya. Akan tetapi, manusia tidak menemukan pendamping yang sepadan baginya, maka Allah membuatnya tertidur. Dan saat pada manusia tertidur, diambil satu dari tulang rusuk manusia itu dan diciptakan-Nya seorang manusia lagi yang Ia beri nama perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (ay. 21-23).
            Dan kedua insan itu tinggal di sebuah taman yang sangat indah kondisinya, di mana terdapat sebuah sungai yang guna untuk membasahi taman tersebut. Sungai tersebut memiliki empat ruas atau cabang (ay. 10-14). Lalu di dalam taman pun ditanam segala jenis pohon beserta dengan buahnya untuk dimakan oleh manusia, kecuali pohon pengetahuan (ay. 15-17).
Hubungan antara Allah dengan Manusia Saat Manusia Berdosa
            Allah menciptakan ular yang ada di salah satu pohon di taman itu. Ular adalah binatang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh Allah (3:1). Binatang ini yang dianggap sebagai biangkerok kejatuhan manusia, setidaknya oleh banyak kaum awam.
            Manusia pertama, Adam dan Hawa sedang berada di dalam Taman Eden, dan ketika itu mereka melewati sebuah pohon yang ada seekor ular. Terjadi percakapan di antara manusia dan ular, dan sebagai hasilnya manusia memakan buah dari pohon yang telah dilarang oleh Allah. Alhasil, mereka pun jatuh ke dalam dosa, sebab mereka telah melanggar apa yang telah Allah perintahkan. Dan seketika itu juga Allah datang mencari manusia untuk meminta pertanggungjawaban dari perbuatan mereka.
            Bukan langsung menghadap dan mengaku, melainkan Adam dan Hawa bersembunyi karena mereka malu akan ketelanjangan dan kesalahan mereka. Semenjak peristiwa manusia jatuh ke dalam dosa, Allah memisahkan diri dengan manusia, sebab manusia sudah tidak kudus lagi di hadapannya. Sesaat setelah manusia menjadi makhluk yang berdosa, Allah mengusir mereka dari Taman Eden, sebab sesuatu yang kudus tidak dapat bersatu dengan sesuatu yang tidak kudus. Mulai saat itu hubungan Allah dengan manusia tidak lagi harmonis, seperti sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

Penyertaan Allah Kepada Manusia
Merupakan Simbol Kasih Sejati
Perjanjian Allah dengan Manusia
            Setelah kejadian di Taman Eden dan manusia diusir dari taman, Allah tidak semata-mata membiarkan manusia hidup dalam keberdosaannya, tapi Allah tetap mengasihi manusia dengan cara menyertai mereka.
            Sebagai bukti, Allah melakukan perjanjian dengan manusia. Perjanjian dilakukan antara Allah dengan manusia melalui pemimpin yang telah Allah pilih sendiri, semisal perjanjian dengan Nuh, Abraham, dan Musa.
            Perjanjian dilakukan karena Allah ingin manusia tidak binasa, melainkan Allah ingin agar manusia selamat dari segala bentuk dosa. Dalam perjanjian dibutuhkan kesiapan bukan hanya dari satu pihak, melainkan kedua pihak harus menyanggupi segala syarat yang ada dalam perjanjian. Dalam perjanjian kedua pihak harus menjalaninya dengan kesadaran, bukan dengan keterpaksaan. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian yang telah disepakati, maka pihak yang melanggar harus bersedia untuk menerima konsekuensi yang telah disepakati diawal perjanjian.
            Yang perlu diingat dalam perjanjian antara Allah dengan manusia adalah bahwa Allah yang selalu berinisiatif untuk melakukan perjanjian. Dan hal ini mengingatkan akan hubungan antara Allah dengan manusia, yang selalu dimulai dari keinisiatifan Allah.
Perjanjian Allah dengan Nuh
            Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, perlakuan manusia menjadi sangat jahat dan mendukakan hati Allah dan membuat Allah menyesali hasil ciptaan-Nya (Kejadian 6:7), sehingga membuat Allah menjadi murka dan ingin menghancurkan bumi dan segala isinya. Akan tetapi Nuh mendapatkan kasih karunia di hadapan Allah, sehingga Allah “mengurungkan” niat-Nya untuk menghancurkan bumi dan isinya.
            Sebagai simbol dari kasih-Nya, Allah memilih Nuh untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Ia diperintahkan untuk membuat sebuah bahtera yang berukuran raksasa, tanpa penolakan sedikitpun ia menaatinya.
            Meskipun dihina oleh masyarakat sekelilingnya, tapi Nuh tidak mempedulikannya dan terus melakukan proyek yang telah dipercaya Allah kepadanya. Perlu diingat bahwa saat Nuh mengerjakan itu, Nuh belum mengetahui apa pun tentang rencana Allah.
            Allah berjanji kepada Nuh untuk menyelamatkan dia dan keluarganya dan binatang-binatang yang dipilih Allah yang masuk ke dalam bahtera, sebab Allah akan menurunkan hujan lebat selama empat puluh hari empat puluh malam dan air bah akan menutupi bumi selama tujuh hari.
            Setelah bumi mengalami massa hukuman yang diberikan Allah, Allah menggenapi janji-Nya. Dan setelah Nuh dan keluarganya dan segala isi bahtera keluar dari bahtera, Allah mengadakan perjanjian lagi dengan Nuh, yaitu Allah berjanji tidak akan memusnahkan isi bumi dengan air bah, dan sebagai simbol dari perjanjian itu Allah membuat pelangi.
Perjanjian Allah dengan Abraham
            Perjanjian antara Allah dengan Abraham dimulai dari pasal 12 dalam Kitab Kejadian, di mana Allah memanggil Abraham untuk keluar dari negerinya. Reaksi yang diberikan Abraham ketika mendapatkan panggilan tersebut adalah menerimanya. Meskipun belum tahu tempat yang akan dituju, tapi Abraham memenuhinya dengan rasa hormat dan rasa taat. Ini dilakukan karena kepercayaan atau iman yang dimiliki Abraham kepada Allah.
            Perjanjian yang diberikan Allah kepada Abraham adalah Abraham akan dijadikan bapa dari seluruh bangsa dan memiliki keturunan sebanyak bintang di langit, dari Abraham pula akan lahir raja-raja. Jika dilihat dari setiap janji yang Allah berikan, semua tergenapi. Satu dari sekian bukti adalah lahirnya raja-raja yang memerintah bumi.
            Sebagai tanda dari perjanjian, setiap anak laki-laki harus disunat (Kejadian 17:10), dan yang tidak bersunat harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya. Inilah cikal-bakal budaya Yahudi kelak yang mengharuskan setiap anak laki-laki harus disunat. Memang tidak dapat dipahami hubungan antara perjanjian dengan sunat, tapi sama halnya dengan pelangi, bahwa sunat merupakan tanda Allah telah melakukan perjanjian dengan manusia.
            Penyunatan merupakan semacam lambang dari peraturan yang kelak menjadi tanda bagi janji-janji Allah, sama dengan Baptisan dan Perjamuan Kudus. Semuanya ini mengungkapkan keinginan Allah untuk bersekutu dengan umat perjanjian-Nya. Dan walaupun perjanjian ini tidak bersyarat, Allah tidak akan pernah melupakan setiap janji-Nya.
Perjanjian Allah dengan Musa
            Musa adalah seorang manusia yang lahir dari keluarga yang biasa, hanya yang membedakan dia dengan manusia lain pada zamannya adalah Musa diasuh oleh keluarga bangsawan, yaitu Raja Firaun, dan Musa dipilih Allah untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir.
            Status bangsa Israel ketika berada di Mesir adalah sebagai budak. Ini adalah alasan mengapa Allah ingin mengeluarkan bangsa Israel yang kelak menjadi bangsa pilihan-Nya. Akan tetapi, pilihan ini juga merupakan pernyataan bahwa Allah mengingat perjanjian-Nya dengan para leluhur, seperti ada dalam Kitab Keluaran. Allah pun bukan sosok yang tidak bertanggungjawab kepada umat-Nya. Ia tetap memelihara bangsa Israel selama pelarian hingga sampai ke tempat yang telah dijanjikan, yaitu Kanaan.

Kristus Sebagai Pembaharuan
dari Segala Janji Allah
Nubuat Kedatangan Kristus
            Dalam Perjanjian Lama bukan hanya ditulis tentang apa yang terjadi pada masa itu, melainkan ditulis juga tentang kedatangan Mesias (Kristus), bukan hanya kedatangan pertama, tapi kedatangan kedua pun sudah ditulis. Selain menjadi wakil Allah di dunia dalam menyuarakan suara Allah secara verbal, nabi juga bertugas untuk menuliskan tentang kedatangan Kristus, tugas ini dikenal dengan nubuatan para nabi.
Kelahiran Yesus Kristus
            Kristus dilahirkan dari keluarga Yahudi yang berprofesi sebagai tukang kayu. Ia lahir bukan dari keinginan laki-laki dan perempuan, melainkan dari Roh Kudus. Maria mengandung Kristus ketika ia dan Yusuf  baru bertunangan. Ini adalah proses kelahiran Kristus di bumi.
            Dan kedatangan Kristus ke dunia pun menjadi penggenapan dari nubuatan para nabi di era Perjanjian Lama.
Kontroversi Seputar Yesus Kristus
            Dalam literatur Kristen abad mula-mula, Kristus disebutkan sebagai Allah dan manusia, Anak Manusia, juga Anak Allah. Keberadaan-Nya yang tanpa dosa terus dipegang teguh, dan Ia adalah tujuan penyembahan yang paling benar. Memang, masalah yang timbul tentang Kristu, yang pada saat yang sama adalah Allah dan juga manusia, dan kesulitan-kesulitan yang tercakup dalam konsep ini, belum sepenuhnya dirasakan oleh orang Kristen abad mula-mula tersebut. Mereka hanya melihatnya sebagai suatu kontroversi. Wajar saja jika Yudaisme dengan tekanan monoteistiknya memberi banyak pengaruh pada orang Kristen mula-mula yang berlatar belakang Yahudi. Kaum Ebionit (atau sebagian dari mereka), terpaksa menyangkal keilahian Kristus. Mereka menganggap-Nya sebagai manusia biasa, anak dari Yusuf dan Maria, yang memperoleh kualitas-Nya setelah dibaptiskan menjadi Mesias, oleh karena Roh Kudus yang turun ke atas-Nya.
            Pada zaman gereja mula-mula, ada lagi kelompok lain yang memiliki doktrin Kristologi yang disusun atas dasar yang mirip dengan kaum Ebonit. Kaum Alogi menolak tulisan-tulisan Yohanes, sebab mereka menganggap doktrin tentang Logos bertentangan dengan seluruh Perjanjian Baru. Mereka juga menganggap bahwa Yesus hanyalah manusia biasa, walaupun secara ajaib dilahirkan oleh seorang perawan, dan mereka mengajarkan bahwa Kristus turun ke atas Yesus pada saat baptisan, menyebabkan Dia memiliki kekuatan supranatural. Pada umumnya, pendapat ini sama dengan pendapat Monarkhi Dinamis.
            Dari sudut pandang penyangkalan ini, maka tugas para tokoh apologetika pada abad mula-mula adalah mempertahankan doktrin keilahian Kristus.
            Bukan hanya asal Kristus yang dipertanyakan, tapi baptisan yang dilakukan Kristus pun menjadi sebuah pertanyaan, bahkan kontroversi. Mengingat dalam keyakinan iman Kristen bahwa Kristus adalah Anak Allah, tapi justru Kristus dibaptis oleh manusia biasa, Yohanes Sang Pembaptis.
            Selepas dari kontroversi baptisan, tapi iman Kristen tetap mengakui baptisan adalah lambang bahwa orang yang meneriman sakramen baptisan adalah orang yang sudah mampu untuk memproklamirkan imannya.

Sakramen Baptis
Pengertian Sakramen Baptis
Sakramen Baptisan merupakan langkah pertama dan utama menjadi seorang Kristen. Baptis merupakan sakramen yang memiliki arti “bahasa isyarat” dari Tuhan. Bahasa isyarat seringkali berbicara lebih kuat dari bahasa-bahasa lain manapun. Sebab bahasa isyarat sifatnya universal. Dalam sakramen, Tuhan mempergunakan benda-benda biasa seperti air, roti, minyak dan juga tindakan-tindakan tertentu untuk berbicara secara langsung kepada jiwa kita. Tidak seperti bahasa isyarat lainnya, bahasa isyarat Tuhan mempunyai kuasa untuk mengubah orang yang menerimanya. Namun baptisan pun memiliki arti yang umum, yaitu sebuah sakramen yang kudus, yang sekali dilakukan oleh manusia yang terikat perjanjian dengan Allah.
Cikal-bakal Sakramen Baptis                        
Apabila berbicara tentang pembaptisan, biasanya pikiran langsung tertuju kepada Kristus. Baptis sendiri sesungguhnya sudah ada lama sebelum Yesus, hanya Kristus memberi perbedaan tersendiri.
Berabad-abad sebelum Kristus, umat dalam Perjanjian Lama percaya bahwa segala bentuk kontak dengan dunia luar mencemarkan mereka. Sebelum mereka boleh makan atau berdoa, terlebih dahulu mereka harus membersihkan diri. Hal ini tampak nyata ketika mereka berdoa pada hari Sabat.
Orang-orang Yahudi wajib membersihkan diri mereka dalam suatu kolam ritual yang disebut mikveh. Kolam tersebut harus diisi dengan air yang mengalir (kadang-kadang disebut “air hidup”) dan mereka harus menenggelamkan diri sepenuhnya ke dalam air. Mereka juga memerlukan seseorang untuk menjadi saksi dalam upacara ini. Kaum pria wajib melakukannya setiap hari Jumat malam, sementara kaum wanita melakukannya hanya sebulan sekali. Sampai saat ini banyak orang Yahudi yang saleh masih melakukan praktek ini.
Fungsi Sakramen Baptis
            Kesucian atau ketaatan kepada hukum Ilahi adalah suatu keadaan yang sangat penting yang memastikan kesukaan Ilahi, untuk memperoleh damai bagi hati nurani, dan menikmati persekutuan dengan Tuhan. Ini adalah pengertian dari lahir baru, yang seringkali disambung-sambungkan dengan baptisan.
            Fungsi dari sakramen baptisan adalah untuk memberikan tanda kepada orang yang melaksanakannya bahwa orang tersebut telah masuk ke dalam perjanjian yang telah Allah buat bagi manusia dan orang tersebut telah siap untuk mengakui atau memproklamirkan iman Kristen yang dimiliki.

Sakramen Baptisan Anak
dan Pandangan Zwingli dan Calvin tentang Baptisan Anak
Cikal-bakal Sakramen Baptisan Anak
            Baptisan anak atau bayi ada karena sebagai usaha orang –orang untuk beradaptasi dengan model baptisan Perjanjian Baru, yaitu baptisan kepada anak-anak. Memang alkitabiah jika melihat alasan mengapa ada baptisan anak. Namun Gereja Timur memiliki pandangan lain dalam berpendapat adanya baptisan anak, yaitu bahwa baptisan anak-anak ada karena landasannya keadaan tidak berdosa dari anak-anak, bukan berlandaskan dosa asal.
            Dosa asal? Jika dipikirkan memang ada sangkut-paut antara baptisan anak dengan dosa asal. Meilhat sejarah bahwa manusia adalah pribadi yang berdosa, maka dari itu semua keturunan yang dilahirkan dari rahim manusia pun ikut berdosa, sehingga anak pun butuh pengampunan dan tanda sebagai pribadi yang terikat perjanjian dengan Allah. Bahkan penulis berpandangan bahwa baptisan anak muncul karena manusia tidak ada yang mengetahui tentang usia seseorang, sehingga dibuat baptisan anak dengan bertujuan untuk berjaga-jaga apabila anak yang baru dilahirkan meninggal atau anak yang tidak sempat dibaptis pada usia dewasa meninggal.
Pandangan Ulrich Zwingli
            Zwingli mau tidak mau harus menghadapi suatu kesulitan yang nyata dalam hubungan dengan baptisan anak.
            Jawaban tradisional terhadap dilema ini adalah apa yang telah sedikit disinggung di sub-bab sebelumnya, yaitu untuk membersihkan kesalahan dosa asal. Argumen yang dipersoalkan itu membawa kembali pada Agustinus dalam awal abad kelima. Sementara itu,. jika Zwingli mengikuti argumen Erasmus, ia kesulitan dengan pengertian dosa asal dan cenderung pada pandangan bahwa anak-anak tidak mempunyai dosa asali yang melekat pada didi mereka yang perlu untuk tidak diampuni. Akibatnya, baptisan anak rasanya tidak mempunyai makna, kecuali jika nanti muncul alasan pembenaran teoritis lain tentang baptisan anak.
            Zwingli menunjukkan bahwa di dalam Perjanjian Lama bayi laki-laki disunat dalam beberapa hari sesudah kelahiran mereka sebagai suatu tanda akan keanggotaan mereka di dalam umat Israel. Sunat merupakan upacara yang ditetapkan oleh perjanjian dalam Perjanjian Lama untuk mendemonstrasikan bahwa anak yang telah disunat itu dihisab ke dalam persekutuan perjanjian. Anak itu telah dilahirkan ke dalam suatu komunitas yang kini memilikinya, dan sunat meupakan suatu tanda keterhisaban ke dalam komunitas. Zwingli mengembangkan ide ini dengan menunjukkan bahwa baptisan adalah lebih lembut dari sunat, karena baptisan tidak melibatkan rasa sakit atau penumpahan darah dan lebih bersifat inklusif, dalam artian bahwa baptisan mencakup bayi laki-laki dan bayi perempuan. Baptisan juga merupakan suatu tanda keterhisaban ke dalam suatu komunitas, dalam hal ini adalah gereja Kristen. Fakta bahwa anak-anak tidak menyadari akan keterhisaban ini tidak relevan. Ia adalah seorang anggota dari komunitas Kristen dan baptisan adalah demonstrasi di hadapan umun akan keterhisabannya sebagai anggota komunitas ini.
Pandangan John Calvin
            Calvin berpendapat bahwa sunat dan baptisan adalah sama, keduanaya adalah perjanjian yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Allah menyatakan dengan tegas bahwa penyunatan bayi itu akan bagaikan materai untuk memeteraikan janji yang terkandung dalam perjanjian itu. Kalau perjanjian itu tetap teguh dan pasti, maka itu berlaku bagi anak-anak orang Kristen sekarang, sama seperti hal sunat dulu menyangkut anak-anak orang Yahudi.
            Bagi Calvin, manfaat baptisan anak-anak adalah mereka dimasukkan ke dalam tubuh gereja dan dengan demikian anggota-anggota lain lebih merasa bahwa mereka dalam arti tertentu dipercayakan kepadanya. Selanjutnya, jika mereka sudah dewasa, baptisan merupakan dorongan yang tidak kecil bagi mereka untuk sungguh-sungguh memuja Allah yang telah menerima mereka sebagai anak-anak-Nya.
            Jika memang Calvin memiliki pendapat seperti itu, berarti sebutan baptisan anak tidak lah pas, karena bukan mereka (anak-anak) yang mengasah iman mereka, tetapi orang-orang atau sebutan Calvin adalah anggota anggota tubuh Kristus. Mengingat bahwa butuh “usaha” sendiri dalam mendemonstrasikan iman yang dimiliki di hadapan umum.

Kesimpulan
            Baptisan adalah salah satu dari sakramen yang sakral, yang diberikan kepada orang-orang yang memang sudah mampu untuk mengerti arti baptisan yang sejati. Dan baptisan tidak pantas diberikan kepada anak-anak, karena anak-anak belum mengerti arti baptisan yang sejati, maka sebelum orang dibaptis, mereka harus mengikuti proses pembelajaran atau yang akrab disebut dengan katekisasi.
            Kata baptisan anak lebih pantas jika diganti menjadi penyerahan anak, seperti yang dilakukan oleh beberapa gereja. Mengapa? Karena sebelum atau setelah penyerahan, yang bertugas untuk menanamkan dan menjaga iman ajaran Kristen pada diri anak adalah orang tua, sampai anak tersebut bertumbuh menjadi dewasa dan dibaptis, sama seperti pengertian dari baptisan anak.
Daftar Pustaka
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Volume 2: Doktrin Manusia. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Volume 3: Doktrin Kristus. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995.
Berkhof, Louis. Teologi Sistematika Volume 4: Doktrin Keselamatan. Jakarta: Lembaga Reformed Injili, 1997.
Calvin, Johanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Dyrness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 1979.
Groenen, C. Teologi Sakramen Inisiasi Baptisan Krisma. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Jeschke, Marlin. Believers Baptism for Children of the Church. Pennyslvania: Herold Press, 1983.
Jungkuntz, Richard. The Gospel of Baptism. London: Concordia Publishing House, 1968.
McGrath, E. Alister.  Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Sagala, Y. Herlise.  Classnote Tafsir Kitab Nabi-Nabi. Bandung: Sekolah Tinggi Teologi Bandung, 2011.
file:///G:/baptisananak.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar