Rabu, 25 Januari 2012

Perjalanan Panjang dan Linangan Air Mata Sebuah Kapal Besar



6 Juli 2011 adalah tanggal di mana penulis lebih mengetahui apa yang sedang terjadi di kapal besar, Ibu Pertiwi. Harap dimaklumkan, karena selama satu bulan lebih penulis tidak pernah bersentuhan dengan media, ini dikarenakan penulis terisolasi di sebuah tempat kecil di bagian dasar kapal besar ini. Namun dengan keadaan yang seperti itu, tidak membuat rasa patriotisme yang mengalir dalam darah penulis menjadi hilang. Sebuah dorongan yang sangat besar untuk menyetel televisi membuat rasa perihatin penulis muncul kembali. Kenapa? Ini adalah sebuah pertanyaan yang menjadi landasan karangan bebas penulis.
Ibu Pertiwi adalah sebuah kapal yang besar, kapal yang pada dahulu kala sangat disegani oleh kapal-kapal di Asia Tenggara, bahkan bisa dibilang di dunia. Seperti khalayak banyak ketahui bahwa Ibu Pertiw mulai berlayar pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah perjalanan dan perjuangan yang tentunya membutuhkan tidak sedikit pengorbanan. Sampai pada akhirnya seluruh penumpang bersehati untuk menunjuk Ir. H. Soekarno sebagai nahkoda dan H. Mohammad Hatta sebagai wakil nahkoda.
Pada era mereka, Ibu Pertiwi memulai rekonstruksi, jelas setelah mengalami era penjajahan lebih kurang 353,5 tahun Ibu Pertiwi mengalami trauma dan kehilangan percaya diri. Tidak mudah memang, tetapi mereka memiliki hati untuk kemajuan Ibu Pertiwi. Nahkoda dan jajarannya membuat peraturan untuk setiap yang ada dalam kapal ini, tanpa terkecuali. Melalui perjalanan panjang hingga akhirnya Ibu Pertiwi memiliki nahkoda yang baru, yaitu Jenderal Soeharto. Di bawah kepemimpinan beliau, Ibu Pertiwi mengalami sebuah kemajuan dan juga kerugian. Jend. Soeharto yang akrab dipanggil dengan sebutan Pak Harto ini memiliki kewibawaan dalam memimpin, sehingga beliau sangat disegani oleh para koleganya. Kewibawaan inilah yang menjadikan beliau sebagai nahkoda terlama yang pernah menahkodai kapal besar yang bernama Ibu Pertiwi. Penulis tidak terlalu ambil pusing dengan hal ini, karena bukan ini yang menjadi landasan tulisan penulis. Kita kembali ke topik. Masa kejayaan Pak Harto lebur karena ulah para mahasiswa. Sebuah insiden terjadi pada Mei 1998. Para mahasiswa menjadi tokoh utama di balik revolusi yang terjadi di Ibu Pertiwi ketika itu, khususnya para mahasiswa yang bernafas di bagian buritan kapal. Dari kegiatan yang hanya sekedar orasi sampai kegiatan yang berujung pada tindakan anarkis mereka lakukan, hanya untuk sebuah perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa karena usaha mulia yang telah mereka lakukanlah Ibu Pertiwi bisa mengenal istilah demokrasi, persamaan hak untuk seluruh rakyat bangsa Indonesia, tanpa terkecuali. Kepemimpinan diwarisi kepada sang wakil, Prof. H. BJ. Habibie. Tapi beliau tidak lama menjabat sebagai nahkoda Ibu Pertiwi.
Semenjak peristiwa Mei 1998, seluruh awak kapal melakukan perombakkan, mereka menetapkan sistem yang berbeda, bukan lagi aklamasi, melainkan demokrasi. Sistem ini yang membawa dampak besar kepada perahu besar dan seluruh awak kapal, serta kepada para penumpang. Tahun 1999, seluruh awak kapal menetapkan sistem demokrasi untuk pemilihan nahkoda baru Ibu Pertiwi. Setelah melalui proses yang panjang, terpilih lah seorang nahkoda yang abnormal, KH. Abdurrahaman Wahid atau yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur dengan didampingi oleh seorang wanita tua keturunan nahkoda terdahulu, Hj. Megawati Soekarnoputri. Sebuah periode baru dimulai. Di mana Ibu Pertiwi dinahkodai oleh nahkoda yang nyaris tidak memiliki mata. Namun tidak bisa disangkal kalau di bawah arahan beliau, agama minoritas, khususnya Kristen memiliki keleluasaan dalam menjalankan ritual agamanya. Seekor burung mampir ke perahu besar Ibu Pertiwi, menyampaikan kabar bahwa Gus Dur adalah jebolan sebuah universitas di Mesir. Beliau mengenyam pendidikan tentang agama dengan tidak diketahui jangka waktunya. Kabar yang diberikan oleh burung itu tidak diketahui keabsahannya, bahkan sampai sekarang. Gus Dur adalah seorang muslim, namun tidak berarti beliau anti dengan agama Kristen. Bahkan pada satu momen, beliau memberikan sebuah statemen yang mencengangkan bagi seluruh awak kapal dan penumpang. Kata beliau yang saya tangkap intinya, “Semua agama itu sama, mengajarkan kebaikan. Tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan, termasuk agama saudara kita, Kristen. Jadi tidak boleh kita ganggu, justru kita harus saling bergandengan tangan.” Kenapa saya pilih kata “mencengangkan”? Karena para awak dan penumpang Ibu Pertiwi sangat sensitif jika membahas tentang agama/kepercayaan/aliran/apa pun itu, bahkan sampai detik ini. Maka saya memprediksikan respon mereka. Gus Dur tidak menuntaskan tugasnya sebagai nahkoda kapal. Para awak dan penumpang kapal menunggangbalikkan beliau dari singgahsananya, sehingga beliau terjungkal dan digantikan oleh wakilnya. Satu perubahan besar terjadi kembali di dalam kapal besar ini. Kapal besar yang masih paruh baya ini dinahkodai oleh seorang wanita tua. Dalam kepemimpinannya, wanita tua ini nyaris tidak melakukan perubahan yang berarti, kecuali menjual sebuah kapal kecil untuk menyimpan dan mengolah minyak ke kapal besar lain, yang mengakibatkan Ibu Pertiwi harus menyewa kapal kecil ke kapal besar lainnya. Justru sangat kontras bila dibandingkan dengan ayahnya, Ir. H. Soekarno yang tidak membuat hal bodoh semacam itu.
Setelah habis periode wanita tua ini, pada tahun 2004 para awak kapal kembali menyelenggarakan pemilu. Setelah melalui proses, terpilih lah  manusia tinggi yang berbadan besar serta tegap, H. Susilo Bambang Yudhoyono dengan wakilnya H. Jusuf Kalla. Nahkoda baru yang akrab disapa dengan panggilan Pak SBY ini memberikan oksigen yang baru kepada para awak dan para penumpang. Pak SBY adalah mantan pemimpin pasukan bersenjata Angkatan Darat, sehingga tidak heran jika melihat postur tubuhnya seperti itu. Sebaliknya, wakil beliau memiliki tinggi badan yang sangat jauh di bawah atasannya. Postur atau hal lain yang berbau fisik tidak menjadi masalah, tapi kapabilitas dan loyalitas manusia itu dalam memimpin laju sang kapal besar.
Dalam eranya, kedua manusia dan jajarannya ini bukan tidak pernah menghadapi masalah, tapi mereka memiliki kesatuan dan keseriusan untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Keseriusan ini ditunjukkan melalui terbentuknya KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Di tengah situasi Indonesia yang akrab dengan kasus suap-menyuap dan kasus lainnya yang masih sekitar KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tapi selang beberapa waktu, lembaga yang telah dibentuk tersandung kasus, pemimpin yang dipercaya, Antasari Azhar didakwa sebagai otak dari pembunuhan seorang mahasiswi yang diduga sebagai selirnya. Penulis tidak mengetahui jelas apa motif dari pembunuhan ini. Yang penulis ketahui dengan jelas bahwa dengan adanya kasus ini, partai yang dikuasai oleh Pak SBY terguncang, disebabkan karena beliau dan jajarannya dicap tidak becus memilih orang untuk memimpin sebuah lembaga besar. Tapi hal ini tidak menyurutkan kepercayaan para awak dan para penumpang untuk tetap mendukung pria besar ini menahkodai Ibu Pertiwi.
Bukan hanya kasus yang muncul dari lembaga KPK, kasus Bank Century dan PT. Lapindo, serta beberapa bencana alam pun ikut menyemarakkan masa kepemimpinan Pak SBY dan Pak JK. Para petinggi kapal besar mulai disibukkan dengan urusan yang kelihatannya tak berujung. Tak kuasa menahan beban ini, kapal besar besar paruh baya dan semua awak dan penumpang mulai mencucurkan air mata mereka. Sungguh bukan beban yang ringan dan yang mudah untuk diselesaikan. Ibu Pertiwi membutuhkan uluran tangan-tangan yang memiliki hati tulus dan murni untuk membantunya keluar dan kembali kepada jalur yang sediakala. Tapi itu hanyalah sebuah khayalan yang belum bisa diwujudkan atau bahkan tidak akan pernah bisa terwujud. Hingga pada tahun 2009 para awak kapal kembali menyelenggarakan pemilu, dan yang keluar sebagai pemenang pilihan hati para penumpang adalah Pak SBY dan Pak Boediyono. Tidak diketahui secara pasti alasan Pak SBY memutuskan Pak JK. Tapi perlu dicatat bahwa suara yang memilih Pak SBY menanjak ketika beliau terpilih untuk pertama kali. Rupanya setiap bencana dan permasalahan yang terjadi pada era kepemimpinannya dulu tidak mempengaruhi rasa kepercayaan para awak dan penumpang kapal. Beliau (Pak SBY) sudah belajar dari kepemimpinannya di masa lalu, sehingga beliau tidak lagi terlihat grogi saat mengucapkan sumpah.
Pada era kedua masa kepemimpinannya, beliau membentuk KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) II, guna membantunya untuk menahkodai Ibu Pertiwi. Pada kepemimpinan jilid II, para pejabat kapal hampir tidak pernah merasakan kenyamanan dan ketenangan saat menghirup dan membuang nafas mereka. Ini disebabkan karena keadaan Ibu Pertiwi yang kini kian memprihatinkan.
Akhir tahun 2009 Ibu Pertiwi dikejutkan oleh makhluk yang bernama Gayus Holomoan Tambunan. Kejutan yang diberikannya bukan karena prestasi yang didapatkan mahkluk ini, melainkan catatan merah yang ia dapat. Makhluk ini mencatatkan namanya sekaligus menambah list nama makhluk yang memiliki kasus serupa.
Golongan III A adalah pangkat yang dimiliki Gayus Tambunan di perpajakan, akan tetapi itu tidak menghalangi Gayus untuk meraup miliyaran rupiah dalam sekejap mata. Unik memang, tapi ini lah realita politik di Ibu Pertiwi. Bukan hanya ketiban harta, beliau juga mendapatkan popularitas di kalangan Ibu Pertiwi, atau bahkan di luar kalangan Ibu Pertiwi. Sungguh menakjubkan sepak terjang beliau. Alhasil, hampir selama setahun beliau menjadi buah bibir di Ibu Pertiwi. Yang sangat menakjubkan adalah saat beliau sedang ditahan di lapas Brimob daerah Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, beliau dapat keluar dengan lenggang. Bahkan beliau dapat bepergian ke Bali untuk menonton turnamen tenis di sana. Entah bagaimana caranya, yang pasti beliau bukan makhluk biasa yang sembarangan. Logikanya, tidak mungkin seorang yang memiliki pangkat sederhana mampu melenggang keluar tahanan dengan mudah di saat orang itu memiliki status tahanan. Penulis yakin bahwa seluruh awak kapal dan seluruh penumpang bukanlah manusia bodoh yang tidak bisa beropini dengan baik.
Hingga pada suatu saat, saat beliau ditangkap kembali, beliau memberikan pilihan yang jika dipikirkan sangat baik dapat membantu usaha polisi untuk mengupas tuntas kasus ini. Beliau meminta agar status dirinya dialihkan dari tersangka menjadi saksi. Di saat itu lah beliau akan membeberkan rahasia kesuksesan yang menimpa dirinya. Saat diwawancarai oleh salah satu siaran televisi swasta, beliau memberi klu tentang orang yang selama ini mensponsori perjalanannya di Asia. Klu yang diberikan adalah orang ini adalah pengusaha yang mengembangkan sayapnya ke ranah politik. Jadi orang ini adalah pengusaha sekaligus politikus. Timbul di benak penulis akan sosok manusia yang memiliki perawakan buruk, ia adalah H. Aburrizal Bakrie. Ya, beliau adalah ketua umum Partai Golkar dan pengusaha batubara terbesar dan tersukses di Ibu Pertiwi, bahkan menurut survei dari salah satu koran nasional, beliau tercatat dalam sepuluh orang terkaya di Ibu Pertiwi. Beliau adalah pengusaha sekaligus politikus, walaupun beliau terhitung anyar di dunia politik. Jadi tidak sulit untuk seorang Bakrie membiayai seluruh perjalanan Gayus di Asia serta sepak terjangnya di dunia perpajakan Ibu Pertiwi. Tapi ini hanyalah hipotesa dari penulis, penulis tidak memiliki bukti yang kuat, seperti pihak yang mengusut kasus ini, sampai detik ini!
Masih di tahun 2009. Kali ini Ibu Pertiwi diterpa badai yang bukan berasal secara langsung dari dunia politik, badai itu berasal dari dunia sepak bola. PSSI (Persatuan Sepak Bola) yang diketuai oleh manusia kardus, Nurdin Halid dan sekretaris jenderal Nugraha Besoes menghantam kapal besar ini kepada sebuah karang yang berukuran cukup besar, sehingga mengakibatkan kerusakan pada kapal. Memang kerusakan ini tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori parah, tapi tidak bisa juga dimasukkan ke dalam kategori ringan. Kenapa? Karena mengancam keberadaan Ibu Pertiwi di organisasi sepakbola dunia (FIFA). Sebenarnya kasus ini sudah muncul saat Nurdin terjerat kasus korupsi. Beliau sempat dipenjara selama beberapa waktu, lalu dibebaskan secara permanen. Setelah beliau bebas dari hukuman yang telah diberikannya, beliau kembali lagi ke PSSI masih sebagai ketua umum. Hal ini lah yang membangkitkan amarah setiap penggemar sepak bola di Ibu Pertiwi. Nurdin dianggap tidak layak lagi untuk memimpin organisasi sepakbola terbesar di kapal besar ini. Tapi apa daya? Nurdin tetap saja melanjutkan masa kepemimpinannya di PSSI, karena pemilihan ketua umum PSSI tidak lah sama seperti pemilihan nahkoda untuk Ibu Pertiwi. Pemilihan ini hanya diwakili oleh pengurus masing-masing klub yang terdaftar sebagai anggota PSSI, sehingga Nurdin tetap bertahan di bangku kerajaannya.
Akan tetapi para supporter sepak bola Ibu Pertiwi tidak selamanya bodoh. Sebagai wujud dari perubahan itu, para supporter kembali menggugat Nurdin untuk segera meninggalkan jabatan ketum PSSI, karena beliau pernah terjerat kasus kriminal. Para supporter menggunakan peraturan FIFA sebagai senjata yang lebih kurang berbunyi demikian, “siapa pun yang pernah dijerat hukum karena tindakan apa pun tidak boleh memimpin organisasi sepak bola.” Di atas langit masih ada langit, mungkin ini adalah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan situasi antara para supporter dan Nurdin cs. Para supporter yang sudah mengalami kemajuan ternyata masih bisa juga dibuat bingung oleh Nurdin cs. Nurdin cs menggunakan cara yang sangat memalukan untuk mengelabui para supporter dan para penumpang lainnya. Nurdin cs merubah peraturan-peraturan yang telah dibuat dan disepakati oleh pihak FIFA, perubahan itu dilakukan pada peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan pasal di atas. Bukan hanya itu, bahkan mereka sampai melakukan pemalsuan tanda tangan Sekjen FIFA pada surat yang diberikan untuk PSSI. Tentu kondisi semacam ini semakin membuat gerah para supporter, bahkan sudah merambat ke sebagian penumpang Ibu Pertiwi.
Hal yang tak wajar pun kembali diciptakan oleh Nurdin cs pada turnamen sepak bola se-Asia Tenggara awal tahun 2011, ketika itu Tim Garuda lolos ke babak grand final. Ulah yang diciptakan oleh Nurdin adalah dengan membawa semua pemain ke kediaman Ical. Di sana para pemain diberi sambutan dan jamuan yang bisa dibilang istimewa. Hal yang sangat tidak lumrah dilakukan Nurdin. Dari kediaman Ical, para pemain dibawa ke sebuah pesantren. Pertanyaannya, apa hubungan turnamen ini dengan pergi ke kediaman Ical dan pesantren? Sungguh memprihatinkan! Mengingat para pemain belum mempersiapkan apa pun untuk laga pamungkas pada turnamen ini. Apa lagi mengingat prestasi Ibu Pertiwi di dunia sepak bola yang berhasil membuat setiap orang mengelus dada. Memang sangat aneh dan tidak lazim ulah yang dilakukan oleh Nurdin Halid. Yang menimbulkan pertanyaan di kalangan penumpang, kenapa harus ke tempat Aburrizal Bakrie mereka dibawa? Kenapa tidak ke Istana Negara? Sebuah pertanyaan yang menuntun setiap manusia untuk mengetahui keharmonisan antara Nurdin dan Ical.
Apa akibat dari ulah yang dilakukan Nurdin? Ya. Tim Garuda gagal memperoleh kemenangan dan meraih piala! Meskipun Tim Garuda dipecundangi Tim Jiran dengan cara yang tidak fair, tetapi bukan itu masalah utamanya. Masalah utamanya ialah memang Tim Garuda disetting untuk tidak memenangi turnamen empat tahunan itu. Spekulasi tentang masalah ini memang tersiar dengan Nurdin memasuki ruang ganti wasit ketika partai final turnamen ini sedang turun minum. Nurdin beranggapan bahwa itu adalah sebuah kegiatan yang lazim. Pernyataan ini semakin menguatkan pandangan masyarakat bahwa Nurdin sebenarnya tidak mengetahui apa pun tentang sepak bola. Dalam peraturan, pemain atau pelatih atau siapa pun tidak boleh memasuki ruangan wasit ketika pertandingan sedang berlangsung atau belum tuntas. Ada tersiar kabar pula bahwa Nurdin dan jajarannya memasuki ruang ganti pemain Tim Garuda saat pelatih Tim Garuda (Alfred Riedl) sedang memberikan arahan. Pelatih berkebangsaan Austria ini menganggap bahwa sikap Nurdin cs sebagai tindakan yang salah, bung Alfred merasa diinterupsi oleh mantan Ketum PSSI tersebut.
Meskipun hidupnya dipenuhi oleh penolakan dari seluruh penggemar sepak bola, tapi Nurdin tetap kekeuh untuk mempertahankan jabatannya sebagai Ketum PSSI. Nurdin menyadarkan penulis dan mungkin manusia yang mengetahui sepak terjangnya, bahwa materi dan kekuasaan saat ini memang masih menjadi senjata yang ampuh untuk menjadikan manusia hidup bukan lagi sebagai manusia, melainkan sebagai binatang!
Pemilihan Ketum PSSI pun digelar pada tahun 2011. Terpilih dua insan manusia yang sangat romantis, Nurdin Halid sebagai Ketum PSSI dan Nirwan Bakrie sebagai Waketum PSSI. Hasil yang membuat seluruh penggemar sepak bola Ibu Pertiwi kecewa. Protes pun dilontarkan kepada panitia yang menyelenggarakan kongres tersebut. Dalam waktu yang sangat panjang, akhirnya dibentuk kembali kongres untuk pemilihan ulang, bukan karena keberatan penggemar sepak bola, melainkan karena tindakan keras FIFA. Kongres pertama digelar di Pekanbaru, Riau. Tetapi kongres ini tidak menemui hasil, karena terjadi sebuah kecelakaan yang sepertinya telah diatur oleh pihak tertentu. Pada saat hari H, ditemukan sejumlah kelompok aparat di lingkungan kongres, sebuah pemandangan yang sangat tidak lazim di dunia sepak bola. Tim sukses Nurdin Halid menuduh kelompok aparat itu adalah ulah salah satu kandidat. Argumen ini secara tidak langsung menunjuk kepada George Toissuta, karena dari beberapa kandidat, hanya beliau yang anggota TNI. Tapi George menanggapi argumen itu dengan senyuman, hal yang sangat jarang ditemukan di wajah dunia saat ini.
Kejadian yang sanggup membuat manusia terpingkal bukan lah argumen dari tim sukses Nurdin, melainkan sebuah kejadian di mana saat para peserta yang tidak memiliki kartu pengenal peserta memaksa masuk ke dalam ruangan yang dipakai untuk kongres. Tapi apa yang didapati? Ruangan itu kosong, tidak ada satu orang pun di dalamnya. Sebuah kondisi yang sepertinya sudah direncakan oleh pihak tertentu. Alhasil, kongres itu pun nihil!
Kejadian tersebut sampai kepada telinga FIFA, sehingga FIFA memberikan batas waktu sampai tanggal 10 Juli 2011 untuk PSSI mengadakan kongres ulang dan untuk memilih pemimpin yang baru, jika mandat ini tidak dilakukan, maka sepak bola Ibu Pertiwi akan dicoret dari anggota FIFA. Maka dibentuklah sebuah komite yang diketuai oleh mantan Ketum PSSI periode 1998-2003, Agum Gumelar. Komite ini dibentuk dengan tujuan agar dapat mensuksesi kongres tersebut sehingga sepakbola Ibu Pertiwi selamat dari hukuman FIFA. Singkat kisah, dibentuklah kongres luar biasa (KLB) pada tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Jawa Tengah. Puji syukur kongres ini berjalan dengan lancar, walaupun ada insiden kecil terjadi, para peserta dihadang oleh pihak keamanan untuk masuk. Beruntung karena pihak panitia sigap mengatasi masalah ini, sehingga mereka diperbolehkan untuk masuk dan mengikuti jalannya kongres. Dengan memakan waktu lebih kurang delapan jam, akhirnya keluarlah satu nama sebagai pemenang, ialah Djohar Arifin Husin sebagai Ketum PSSI dan Farid Rahman sebagai Waketum PSSI periode 2011-2015. Masyarakat Ibu Pertiwi tentu saja banyak berharap dari pasangan sejoli ini, tentu saja untuk membenahi sepakbola Ibu Pertiwi. Memang bukan perkara yang mudah, tetapi mereka berjanji untuk memperbaiki sepak bola Ibu Pertiwi.
Keseriusan ditunjukkan oleh Pak Djohar dengan membentuk pengurus PSSI yang baru, mengingat baru lima hari beliau memimpin. Sekertaris Jenderal dipegang oleh Tri Goestoro, beliau pernah menjabat sebagai Waketum PSSI pada era Agum Gumelar. Dalam tugasnya beliau akan diwakili oleh Hadiyandra dan mantan pengurus PSSI lainnya, Tondo Widodo. Dalam waktu yang sama, Pak Djohar mengumumkan pengurus lainnya, seperti Zulkifli Tanjung sebagai bendahara dan Husni Hasibuan sebagai wakil. Dan untuk posisi koordinator bidang kompetisi Djohar menunjuk Sihar Sitorus. Pada awal kepemimpinannya, beliau mencoba untuk merangkul lima pengusaha untuk menjadi sponsor PSSI, mengingat sepak bola Ibu Pertiwi akan dijadikan sebagai sebuah industri, tidak lagi berpangku tangan pada anggaran yang diberikan pemerintah. Djohar membuat keputusan yang bisa dikatakan sebuah keputusan kontroversi, beliau memberhentikan Alfred Riedl sebagai pelatih Tim Garuda. Beliau memiliki argumen tentang keputusannya tersebut, menurutnya, Riedl tidak terikat kontrak dengan PSSI, melainkan dengan Nirwan Bakrie (mantan Waketum PSSI). Sebagai gantinya, Djohar menunjuk pelatih PSM Makassar sebagai pelatih Tim Garuda, Wim Rijsberger. Pelatih berkebangsaan Belanda ini tidak bekerja sendirian, beliau akan ditemani Rahmad Darmawan sebagai asisten pelatih.
Tinggalkan PSSI, kita berangkat ke kasus mafia di Ibu Pertiwi. Tahun 2011 sepertinya menjadi tahun kabung bagi Ibu Pertiwi, pasalnya banyak sekali tragedi yang terjadi. Tepat pada pertengahan tahun ini Ibu Pertiwi kembali diguncang oleh kabar korupsi. Kali ini politisi dari Partai Demokrat yang menjadi aktor korupsi dan penyogokan, dia adalah Muhammad Nazarrudin. Nazarrudin adalah sosok yang mengemban peran penting di parpol tersebut, beliau menjabat sebagai bendahara umum partai. Sebelum menjabat sebagai bendahara umum Partai Demokrat, beliau berkecimpung di dunia usaha, terbukti melalui empat perusahaan yang ditukanginya. Partai Demokrat adalah partai politik kedua yang memayungi beliau, sebelumnya beliau pernah melamar ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), namun beliau ditolak hingga akhirnya Partai Demokrat menampungnya. Nazarrudin dipercaya oleh kapal untuk membangun sebuah wisma atlet SEA GAMES di Jakabaring, Palembang. Beliau bekerjasama dengan salah satu perusahaan yang beliau kelola, PT. Duta Graha Indah. Pilihan yang jatuh kepada perusahaannya pun menuai curiga, pasalnya Nazarrudin dan beberapa koleganya dicurigai melakukan aksi suap-menyuap kepada pihak tertentu untuk menjatuhkan pilihan kepada PT. Duta Graha Indah. Rasa curiga ini pun terjawab setelah melalui proses penyelidikan yang tidak mudah. Benar dugaan bahwa Nazarrudin dan koleganya melakukan aksi suap kepada pihak tertentu. Kejahatan Nazar pun tidak berhenti sampai di situ. Beliau menjadi tersangka dalam kasus korupsi, jumlah uang yang dikorup beliau ditaksir berkisar miliyaran rupiah. Saat ini Nazar diplot sebagai tersangka, namun tidak bisa diadili karena kini beliau sedang “berlibur” dengan tempat yang tidak diketahui dengan pasti.
Nazar masih melakukan komunikasi dengan salah satu koleganya yang tidak ikut “berlibur”, beliau komunikasi dengan koleganya melalui BBM (Blackberry Messanger) dan SMS (Sending Message Service). Seharusnya pihak yang berwenang dapat menarik paksa Nazar untuk kembali ke Ibu Pertiwi, melihat Nazar telah menggunakan dua media komunikasi. Dengan alat teknologi yang serba canggih pada dewasa ini, seharusnya pihak yang berwenang mudah melacak keberadaan Nazar sekarang, tapi hasil yang didapat adalah nol besar! Sikap yang bertele-tele ini menuai curiga di kalangan penumpang Ibu Pertiwi, para penumpang mencurigai pihak Partai Demokrat tidak bersikap tegas kepada salah satu politisinya. Akan tetapi hal ini dibantah oleh sesepuh partai tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau membentuk sebuah organisasi atau apa pun itu namanya untuk memulangkan Nazar dari tempat persembunyiannya. Segala cara dilakukan hanya untuk satu makhluk parasit ini.
Di tengah “liburan”nya, Nazar menyempatkan waktu untuk memberikan informasi yang sangat penting ke seluruh penghuni Ibu Pertiwi. Beliau mengatakan bahwa dia tidak bekerja sendirian, melainkan dibantu oleh beberapa temannya. Dalam BBM, beliau menyebutkan Ibu Artis dan Pak Bali, kedua panggilan tersebut beliau arahkan kepada Angelina Sondakh dan Wayan Koster. Menurut beliau istilah ini diberikan oleh Anas Urbaningrum pada tahun 2010. Nazar juga menyeret nama Wahid Muharam selaku Sesmenpora (Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga) dalam kasus ini. Nama terakhir telah ditetapkan sebagai tersangka penyuapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 April 2011. Bahkan Nazar melibatkan Anas dan Andi Malarangeng dalam kasus ini. Secara logika memang pas argumen yang dilontarkan Nazar. Mungkinkah seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya dengan baik tidak mengetahui apa yang dilakukan anak buahnya? Namun baik Anas atau Andi menolak dengan tegas tuduhan yang diberikan kepada mereka. Tentu membuat para penumpang menjadi bingung, sehingga kepercayaan mereka kepada para pemimpin dan wakil dengan pasti menurun. Sampai saat ini para pemimpin dan juga wakil penumpang masih menyelidiki kasus suap dan korupsi yang melibatkan sejumlah wakil penumpang di pemerintahan.
Satu lagi kasus mafia Ibu Pertiwi terungkap. Kali ini melibatkan sejumlah nama yang bergerak di bidang hukum. Pemalsuan surat Mahkama Konstitusi (MK) dilakukan oleh Andi Nurpati dan Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua MK. Mereka mengaku sebagai aktor dan aktris dalam pemalsuan surat MK tersebut, namun ada sutradara sekaligus produsernya, ia adalah Dewi Yasin Limpo. Dewi meminta Andi dan Mahfud untuk membuat surat palsu tersebut lantaran beliau ingin mendapatkan bangku di DPR. Akan tetapi langkah Dewi terganjal, karena pihak MK mengatakan bahwa surat tersebut palsu. Menurut Mahfud, kasus ini tidak akan menjadi heboh apabila Dewi tidak melaporkan MK kepada polisi.
Dewi Yasin Limpo adalah politisi dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Kabarnya beliau dipanggil oleh Panja Mafia Pemilu pada 7 Juli 2011 untuk dimintai keterangan mengenai kasus pemalsuan surat MK. Panja Mafia Pemilu juga akan meminta keterangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu). Informasi terupdate yang penulis terima bahwa Dewi Yasin Limpo telah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Sungguh ironis bila melihat keadaan Ibu Pertiwi saat ini. Sebuah kapal besar yang dikuasai para mafia. Para penegak hukum tidak lagi menegakkan hukum, melainkan melemaskan hukum.
Jika pihak penegak hukum pun terlibat dalam kasus mafia, lantas siapakah yang dapat diandalkan oleh rakyat Ibu Pertiwi? Kapankah mereka sadar atas perbuatannya yang telah menyakiti nurani Ibu Pertiwi? Tidakkah mereka melihat betapa banyaknya luka dan sakit yang ditanggung Ibu Pertiwi serta para penumpang? Akankah Ibu Pertiwi bisa merayakan ulang tahun yang ke-100? Siapakah yang akan menyelamatkan Ibu Pertiwi dari hantaman-hantaman gelombang laut? Semoga engkau bisa merayakan ulang tahunmu yang ke-100, Ibuku!
Masih banyak tragedi yang tidak diselipkan dalam tulisan ini. Melalui tulisan tak bernilai ini, penulis mengharapkan sebuah kemajuan yang besar dari masyarakat Indonesia. Kerinduan penulis, melihat Kapal Besar Ibu Pertiwi bisa berlayar kembali dengan bendera kebanggaan yang berkibar dengan gagah di atasnya, Merah Putih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar