6 Juli 2011
adalah tanggal di mana penulis lebih mengetahui apa yang sedang terjadi di kapal
besar, Ibu Pertiwi. Harap dimaklumkan, karena selama satu bulan lebih penulis
tidak pernah bersentuhan dengan media, ini dikarenakan penulis terisolasi di sebuah tempat kecil di
bagian dasar kapal besar ini. Namun dengan keadaan yang seperti itu, tidak
membuat rasa patriotisme yang
mengalir dalam darah penulis menjadi hilang. Sebuah dorongan yang sangat besar
untuk menyetel televisi membuat rasa
perihatin penulis muncul kembali. Kenapa? Ini adalah sebuah pertanyaan yang
menjadi landasan karangan bebas penulis.
Ibu Pertiwi adalah sebuah kapal yang besar, kapal
yang pada dahulu kala sangat disegani oleh kapal-kapal di Asia Tenggara, bahkan
bisa dibilang di dunia. Seperti khalayak banyak ketahui bahwa Ibu Pertiw mulai
berlayar pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebuah perjalanan dan perjuangan yang tentunya membutuhkan tidak sedikit
pengorbanan. Sampai pada akhirnya seluruh penumpang bersehati untuk menunjuk
Ir. H. Soekarno sebagai nahkoda dan H. Mohammad Hatta sebagai wakil nahkoda.
Pada era mereka, Ibu Pertiwi memulai rekonstruksi,
jelas setelah mengalami era penjajahan lebih kurang 353,5 tahun Ibu Pertiwi mengalami trauma dan kehilangan percaya
diri. Tidak mudah memang, tetapi mereka memiliki hati untuk kemajuan Ibu
Pertiwi. Nahkoda dan jajarannya membuat peraturan untuk setiap yang ada
dalam kapal ini, tanpa terkecuali. Melalui perjalanan panjang hingga akhirnya
Ibu Pertiwi memiliki nahkoda yang baru, yaitu Jenderal Soeharto. Di bawah
kepemimpinan beliau, Ibu Pertiwi mengalami sebuah kemajuan dan juga kerugian.
Jend. Soeharto yang akrab dipanggil dengan sebutan Pak Harto ini memiliki kewibawaan
dalam memimpin, sehingga beliau sangat disegani oleh para koleganya. Kewibawaan
inilah yang menjadikan beliau sebagai nahkoda terlama yang pernah menahkodai
kapal besar yang bernama Ibu Pertiwi. Penulis tidak
terlalu ambil pusing dengan hal ini, karena bukan ini yang menjadi landasan
tulisan penulis. Kita kembali ke topik. Masa kejayaan Pak Harto lebur karena ulah
para mahasiswa. Sebuah insiden terjadi pada Mei 1998. Para mahasiswa
menjadi tokoh utama di balik revolusi yang terjadi di Ibu Pertiwi ketika itu,
khususnya para mahasiswa yang bernafas di bagian buritan kapal. Dari kegiatan
yang hanya sekedar orasi sampai kegiatan yang berujung pada tindakan anarkis
mereka lakukan, hanya untuk sebuah perubahan. Tidak bisa dipungkiri bahwa
karena usaha mulia yang telah mereka lakukanlah Ibu Pertiwi bisa mengenal
istilah demokrasi, persamaan hak untuk seluruh rakyat bangsa Indonesia, tanpa
terkecuali. Kepemimpinan diwarisi kepada sang wakil, Prof. H. BJ. Habibie. Tapi
beliau tidak lama menjabat sebagai nahkoda Ibu Pertiwi.
Semenjak peristiwa Mei 1998, seluruh awak kapal
melakukan perombakkan, mereka menetapkan sistem yang berbeda, bukan lagi aklamasi,
melainkan demokrasi. Sistem ini yang membawa dampak besar kepada perahu besar
dan seluruh awak kapal, serta kepada para penumpang. Tahun 1999, seluruh awak kapal menetapkan sistem demokrasi untuk
pemilihan nahkoda baru Ibu Pertiwi. Setelah melalui proses yang panjang,
terpilih lah seorang nahkoda yang abnormal, KH. Abdurrahaman Wahid atau yang
akrab disapa dengan panggilan Gus Dur dengan didampingi oleh seorang wanita tua
keturunan nahkoda terdahulu, Hj. Megawati Soekarnoputri. Sebuah periode baru
dimulai. Di mana Ibu Pertiwi dinahkodai oleh nahkoda yang nyaris tidak memiliki mata. Namun tidak bisa disangkal kalau di
bawah arahan beliau, agama minoritas, khususnya Kristen memiliki keleluasaan
dalam menjalankan ritual agamanya. Seekor burung mampir ke perahu besar Ibu Pertiwi, menyampaikan kabar bahwa Gus
Dur adalah jebolan sebuah universitas
di Mesir. Beliau mengenyam pendidikan tentang agama dengan tidak diketahui
jangka waktunya. Kabar yang diberikan oleh burung itu tidak diketahui keabsahannya,
bahkan sampai sekarang. Gus Dur adalah seorang muslim, namun tidak berarti
beliau anti dengan agama Kristen. Bahkan pada satu momen, beliau memberikan
sebuah statemen yang mencengangkan bagi seluruh awak kapal dan penumpang. Kata beliau
yang saya tangkap intinya, “Semua agama itu sama, mengajarkan kebaikan. Tidak
ada agama yang mengajarkan kejahatan, termasuk agama saudara kita, Kristen.
Jadi tidak boleh kita ganggu, justru kita harus saling bergandengan tangan.”
Kenapa saya pilih kata “mencengangkan”? Karena para awak dan penumpang Ibu
Pertiwi sangat sensitif jika membahas tentang agama/kepercayaan/aliran/apa pun
itu, bahkan sampai detik ini. Maka saya memprediksikan respon mereka. Gus Dur
tidak menuntaskan tugasnya sebagai nahkoda kapal. Para awak dan penumpang kapal
menunggangbalikkan beliau dari singgahsananya, sehingga beliau terjungkal dan digantikan oleh wakilnya.
Satu perubahan besar terjadi kembali di dalam kapal besar ini. Kapal besar yang
masih paruh baya ini dinahkodai oleh seorang wanita tua. Dalam
kepemimpinannya, wanita tua ini nyaris
tidak melakukan perubahan yang berarti, kecuali menjual sebuah kapal kecil
untuk menyimpan dan mengolah minyak ke kapal besar lain, yang mengakibatkan Ibu
Pertiwi harus menyewa kapal kecil ke
kapal besar lainnya. Justru sangat kontras bila dibandingkan dengan
ayahnya, Ir. H. Soekarno yang tidak membuat hal bodoh semacam itu.
Setelah habis periode wanita tua ini, pada tahun 2004 para awak kapal kembali
menyelenggarakan pemilu. Setelah
melalui proses, terpilih lah manusia
tinggi yang berbadan besar serta tegap, H. Susilo Bambang Yudhoyono dengan
wakilnya H. Jusuf Kalla. Nahkoda baru yang akrab disapa dengan panggilan Pak
SBY ini memberikan oksigen yang baru kepada para awak dan para penumpang. Pak
SBY adalah mantan pemimpin pasukan bersenjata Angkatan Darat, sehingga tidak
heran jika melihat postur tubuhnya seperti itu. Sebaliknya, wakil beliau
memiliki tinggi badan yang sangat jauh di bawah atasannya. Postur atau hal lain yang berbau fisik tidak menjadi
masalah, tapi kapabilitas dan loyalitas manusia itu dalam memimpin laju sang
kapal besar.
Dalam eranya, kedua manusia dan jajarannya ini bukan
tidak pernah menghadapi masalah, tapi mereka memiliki kesatuan dan keseriusan
untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Keseriusan ini ditunjukkan melalui
terbentuknya KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Di tengah situasi Indonesia yang
akrab dengan kasus suap-menyuap dan kasus lainnya yang masih sekitar KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tapi selang beberapa waktu, lembaga yang
telah dibentuk tersandung kasus, pemimpin yang dipercaya, Antasari Azhar
didakwa sebagai otak dari pembunuhan seorang mahasiswi yang diduga sebagai selirnya. Penulis tidak mengetahui jelas
apa motif dari pembunuhan ini. Yang penulis ketahui dengan jelas bahwa dengan
adanya kasus ini, partai yang dikuasai oleh Pak SBY terguncang, disebabkan
karena beliau dan jajarannya dicap tidak becus
memilih orang untuk memimpin sebuah lembaga besar. Tapi hal ini tidak
menyurutkan kepercayaan para awak dan para penumpang untuk tetap mendukung pria
besar ini menahkodai Ibu Pertiwi.
Bukan hanya kasus yang muncul dari lembaga KPK,
kasus Bank Century dan PT. Lapindo, serta beberapa bencana alam pun ikut
menyemarakkan masa kepemimpinan Pak SBY dan Pak JK. Para petinggi kapal besar
mulai disibukkan dengan urusan yang kelihatannya
tak berujung. Tak kuasa menahan beban ini, kapal besar besar paruh baya dan
semua awak dan penumpang mulai mencucurkan air mata mereka. Sungguh bukan beban
yang ringan dan yang mudah untuk diselesaikan. Ibu Pertiwi membutuhkan uluran
tangan-tangan yang memiliki hati tulus dan murni untuk membantunya keluar dan
kembali kepada jalur yang sediakala. Tapi itu hanyalah sebuah khayalan yang
belum bisa diwujudkan atau bahkan tidak akan pernah bisa terwujud. Hingga pada tahun 2009 para awak kapal kembali menyelenggarakan
pemilu, dan yang keluar sebagai
pemenang pilihan hati para penumpang adalah Pak SBY dan Pak Boediyono. Tidak
diketahui secara pasti alasan Pak SBY memutuskan
Pak JK. Tapi perlu dicatat bahwa suara yang memilih Pak SBY menanjak ketika beliau terpilih untuk
pertama kali. Rupanya setiap bencana dan permasalahan yang terjadi pada era
kepemimpinannya dulu tidak
mempengaruhi rasa kepercayaan para awak dan penumpang kapal. Beliau (Pak SBY)
sudah belajar dari kepemimpinannya di masa lalu, sehingga beliau tidak lagi
terlihat grogi saat mengucapkan
sumpah.
Pada era kedua masa kepemimpinannya, beliau
membentuk KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) II, guna membantunya untuk menahkodai
Ibu Pertiwi. Pada kepemimpinan jilid II, para pejabat kapal hampir tidak pernah
merasakan kenyamanan dan ketenangan saat menghirup dan membuang nafas mereka.
Ini disebabkan karena keadaan Ibu Pertiwi yang kini kian memprihatinkan.
Akhir tahun
2009 Ibu Pertiwi dikejutkan oleh makhluk yang bernama Gayus Holomoan
Tambunan. Kejutan yang diberikannya bukan karena prestasi yang didapatkan
mahkluk ini, melainkan catatan merah yang ia dapat. Makhluk ini mencatatkan
namanya sekaligus menambah list nama
makhluk yang memiliki kasus serupa.
Golongan III A adalah pangkat yang dimiliki Gayus
Tambunan di perpajakan, akan tetapi itu tidak menghalangi Gayus untuk meraup
miliyaran rupiah dalam sekejap mata. Unik memang, tapi ini lah realita politik
di Ibu Pertiwi. Bukan hanya ketiban
harta, beliau juga mendapatkan popularitas di kalangan Ibu Pertiwi, atau bahkan
di luar kalangan Ibu Pertiwi. Sungguh menakjubkan sepak terjang beliau.
Alhasil, hampir selama setahun beliau menjadi buah bibir di Ibu Pertiwi. Yang
sangat menakjubkan adalah saat beliau sedang ditahan di lapas Brimob daerah
Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, beliau dapat keluar dengan lenggang. Bahkan
beliau dapat bepergian ke Bali untuk menonton turnamen tenis di sana. Entah
bagaimana caranya, yang pasti beliau bukan makhluk biasa yang sembarangan.
Logikanya, tidak mungkin seorang yang memiliki pangkat sederhana mampu
melenggang keluar tahanan dengan mudah di saat orang itu memiliki status
tahanan. Penulis yakin bahwa seluruh awak kapal dan seluruh penumpang bukanlah
manusia bodoh yang tidak bisa beropini
dengan baik.
Hingga pada suatu saat, saat beliau ditangkap
kembali, beliau memberikan pilihan yang jika dipikirkan sangat baik dapat
membantu usaha polisi untuk mengupas tuntas kasus ini. Beliau meminta agar
status dirinya dialihkan dari tersangka menjadi saksi. Di saat itu lah beliau
akan membeberkan rahasia kesuksesan
yang menimpa dirinya. Saat diwawancarai oleh salah satu siaran televisi swasta,
beliau memberi klu tentang orang yang selama ini mensponsori perjalanannya di
Asia. Klu yang diberikan adalah orang ini adalah pengusaha yang mengembangkan
sayapnya ke ranah politik. Jadi orang ini adalah pengusaha sekaligus politikus.
Timbul di benak penulis akan sosok manusia yang memiliki perawakan buruk, ia
adalah H. Aburrizal Bakrie. Ya, beliau adalah ketua umum Partai Golkar dan
pengusaha batubara terbesar dan tersukses di Ibu Pertiwi, bahkan menurut survei
dari salah satu koran nasional, beliau tercatat dalam sepuluh orang terkaya di
Ibu Pertiwi. Beliau adalah pengusaha sekaligus politikus, walaupun beliau
terhitung anyar di dunia politik.
Jadi tidak sulit untuk seorang Bakrie membiayai seluruh perjalanan Gayus di
Asia serta sepak terjangnya di dunia perpajakan Ibu Pertiwi. Tapi ini
hanyalah hipotesa dari penulis, penulis tidak memiliki bukti yang kuat, seperti
pihak yang mengusut kasus ini, sampai detik ini!
Masih di
tahun 2009. Kali ini Ibu Pertiwi diterpa badai yang bukan berasal secara
langsung dari dunia politik, badai itu berasal dari dunia sepak bola. PSSI
(Persatuan Sepak Bola) yang diketuai oleh manusia kardus, Nurdin Halid dan
sekretaris jenderal Nugraha Besoes menghantam kapal besar ini kepada sebuah
karang yang berukuran cukup besar, sehingga mengakibatkan kerusakan pada kapal.
Memang kerusakan ini tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori parah, tapi tidak
bisa juga dimasukkan ke dalam kategori ringan. Kenapa? Karena mengancam
keberadaan Ibu Pertiwi di organisasi sepakbola dunia (FIFA). Sebenarnya kasus
ini sudah muncul saat Nurdin terjerat kasus korupsi. Beliau sempat dipenjara
selama beberapa waktu, lalu dibebaskan secara permanen. Setelah beliau bebas
dari hukuman yang telah diberikannya, beliau kembali lagi ke PSSI masih sebagai
ketua umum. Hal ini lah yang membangkitkan amarah setiap penggemar sepak bola
di Ibu Pertiwi. Nurdin dianggap tidak layak lagi untuk memimpin organisasi
sepakbola terbesar di kapal besar ini. Tapi apa daya? Nurdin tetap saja
melanjutkan masa kepemimpinannya di PSSI, karena pemilihan ketua umum PSSI
tidak lah sama seperti pemilihan nahkoda untuk Ibu Pertiwi. Pemilihan ini hanya
diwakili oleh pengurus masing-masing klub yang terdaftar sebagai anggota PSSI,
sehingga Nurdin tetap bertahan di bangku kerajaannya.
Akan tetapi para supporter sepak bola Ibu Pertiwi
tidak selamanya bodoh. Sebagai wujud dari perubahan itu, para supporter kembali
menggugat Nurdin untuk segera meninggalkan jabatan ketum PSSI, karena beliau
pernah terjerat kasus kriminal. Para supporter menggunakan peraturan FIFA
sebagai senjata yang lebih kurang berbunyi demikian, “siapa pun yang pernah
dijerat hukum karena tindakan apa pun tidak boleh memimpin organisasi sepak bola.”
Di atas langit masih ada langit, mungkin ini adalah peribahasa yang cocok untuk
menggambarkan situasi antara para supporter dan Nurdin cs. Para supporter yang sudah
mengalami kemajuan ternyata masih bisa juga dibuat bingung oleh Nurdin cs.
Nurdin cs menggunakan cara yang sangat memalukan untuk mengelabui para
supporter dan para penumpang lainnya. Nurdin cs merubah peraturan-peraturan
yang telah dibuat dan disepakati oleh pihak FIFA, perubahan itu dilakukan pada
peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan pasal di atas. Bukan hanya itu,
bahkan mereka sampai melakukan pemalsuan tanda tangan Sekjen FIFA pada surat
yang diberikan untuk PSSI. Tentu kondisi semacam ini semakin membuat gerah para supporter, bahkan sudah
merambat ke sebagian penumpang Ibu Pertiwi.
Hal yang tak wajar pun kembali diciptakan oleh
Nurdin cs pada turnamen sepak bola se-Asia Tenggara awal tahun 2011, ketika itu Tim Garuda lolos ke babak grand final.
Ulah yang diciptakan oleh Nurdin adalah dengan membawa semua pemain ke kediaman
Ical. Di sana para pemain diberi sambutan dan jamuan yang bisa dibilang
istimewa. Hal yang sangat tidak lumrah dilakukan Nurdin. Dari kediaman Ical,
para pemain dibawa ke sebuah pesantren. Pertanyaannya, apa hubungan turnamen
ini dengan pergi ke kediaman Ical dan pesantren? Sungguh memprihatinkan!
Mengingat para pemain belum mempersiapkan apa pun untuk laga pamungkas pada
turnamen ini. Apa lagi mengingat prestasi Ibu Pertiwi di dunia sepak bola yang
berhasil membuat setiap orang mengelus dada. Memang sangat aneh dan tidak lazim
ulah yang dilakukan oleh Nurdin Halid. Yang menimbulkan pertanyaan di kalangan
penumpang, kenapa harus ke tempat Aburrizal Bakrie mereka dibawa? Kenapa tidak
ke Istana Negara? Sebuah pertanyaan yang menuntun setiap manusia untuk
mengetahui keharmonisan antara Nurdin dan Ical.
Apa akibat dari ulah yang dilakukan Nurdin? Ya. Tim
Garuda gagal memperoleh kemenangan dan meraih piala! Meskipun Tim Garuda
dipecundangi Tim Jiran dengan cara yang tidak fair, tetapi bukan itu masalah utamanya. Masalah utamanya ialah
memang Tim Garuda disetting untuk
tidak memenangi turnamen empat tahunan itu. Spekulasi tentang masalah ini
memang tersiar dengan Nurdin memasuki ruang ganti wasit ketika partai final
turnamen ini sedang turun minum. Nurdin beranggapan bahwa itu adalah sebuah
kegiatan yang lazim. Pernyataan ini semakin menguatkan pandangan masyarakat
bahwa Nurdin sebenarnya tidak mengetahui apa pun tentang sepak bola. Dalam
peraturan, pemain atau pelatih atau siapa pun tidak boleh memasuki ruangan
wasit ketika pertandingan sedang berlangsung atau belum tuntas. Ada tersiar
kabar pula bahwa Nurdin dan jajarannya memasuki ruang ganti pemain Tim Garuda
saat pelatih Tim Garuda (Alfred Riedl) sedang memberikan arahan. Pelatih
berkebangsaan Austria ini menganggap bahwa sikap Nurdin cs sebagai tindakan
yang salah, bung Alfred merasa diinterupsi
oleh mantan Ketum PSSI tersebut.
Meskipun hidupnya dipenuhi oleh penolakan dari
seluruh penggemar sepak bola, tapi Nurdin tetap kekeuh untuk mempertahankan jabatannya sebagai Ketum PSSI. Nurdin
menyadarkan penulis dan mungkin manusia yang mengetahui sepak terjangnya, bahwa
materi dan kekuasaan saat ini memang masih menjadi senjata yang ampuh untuk
menjadikan manusia hidup bukan lagi sebagai manusia, melainkan sebagai
binatang!
Pemilihan Ketum PSSI pun digelar pada tahun 2011. Terpilih dua insan manusia
yang sangat romantis, Nurdin Halid sebagai Ketum PSSI dan Nirwan Bakrie sebagai
Waketum PSSI. Hasil yang membuat seluruh penggemar sepak bola Ibu Pertiwi
kecewa. Protes pun dilontarkan kepada panitia yang menyelenggarakan kongres
tersebut. Dalam waktu yang sangat panjang, akhirnya dibentuk kembali kongres
untuk pemilihan ulang, bukan karena keberatan penggemar sepak bola, melainkan
karena tindakan keras FIFA. Kongres pertama digelar di Pekanbaru, Riau. Tetapi
kongres ini tidak menemui hasil, karena terjadi sebuah kecelakaan yang
sepertinya telah diatur oleh pihak tertentu. Pada saat hari H, ditemukan
sejumlah kelompok aparat di lingkungan kongres, sebuah pemandangan yang sangat
tidak lazim di dunia sepak bola. Tim sukses Nurdin Halid menuduh kelompok
aparat itu adalah ulah salah satu kandidat. Argumen ini secara tidak langsung
menunjuk kepada George Toissuta, karena dari beberapa kandidat, hanya beliau
yang anggota TNI. Tapi George menanggapi argumen itu dengan senyuman, hal yang
sangat jarang ditemukan di wajah dunia saat ini.
Kejadian yang sanggup membuat manusia terpingkal
bukan lah argumen dari tim sukses Nurdin, melainkan sebuah kejadian di mana
saat para peserta yang tidak memiliki kartu pengenal peserta memaksa masuk ke
dalam ruangan yang dipakai untuk kongres. Tapi apa yang didapati? Ruangan
itu kosong, tidak ada satu orang pun di dalamnya. Sebuah kondisi yang
sepertinya sudah direncakan oleh pihak tertentu. Alhasil, kongres itu pun
nihil!
Kejadian tersebut sampai kepada telinga FIFA,
sehingga FIFA memberikan batas waktu sampai tanggal 10 Juli 2011 untuk PSSI mengadakan kongres ulang dan untuk memilih
pemimpin yang baru, jika mandat ini tidak dilakukan, maka sepak bola Ibu
Pertiwi akan dicoret dari anggota FIFA. Maka dibentuklah sebuah komite yang
diketuai oleh mantan Ketum PSSI periode
1998-2003, Agum Gumelar. Komite ini dibentuk dengan tujuan agar dapat
mensuksesi kongres tersebut sehingga sepakbola Ibu Pertiwi selamat dari hukuman
FIFA. Singkat kisah, dibentuklah kongres luar biasa (KLB) pada tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Jawa Tengah. Puji
syukur kongres ini berjalan dengan lancar, walaupun ada insiden kecil terjadi,
para peserta dihadang oleh pihak keamanan untuk masuk. Beruntung karena pihak
panitia sigap mengatasi masalah ini, sehingga mereka diperbolehkan untuk masuk
dan mengikuti jalannya kongres. Dengan memakan waktu lebih kurang delapan
jam, akhirnya keluarlah satu nama sebagai pemenang, ialah Djohar Arifin Husin
sebagai Ketum PSSI dan Farid Rahman sebagai Waketum PSSI periode 2011-2015. Masyarakat Ibu Pertiwi tentu saja banyak
berharap dari pasangan sejoli ini, tentu saja untuk membenahi sepakbola Ibu
Pertiwi. Memang bukan perkara yang mudah, tetapi mereka berjanji untuk
memperbaiki sepak bola Ibu Pertiwi.
Keseriusan ditunjukkan oleh Pak Djohar dengan
membentuk pengurus PSSI yang baru, mengingat baru lima hari beliau memimpin. Sekertaris Jenderal dipegang oleh Tri
Goestoro, beliau pernah menjabat sebagai Waketum PSSI pada era Agum Gumelar.
Dalam tugasnya beliau akan diwakili oleh Hadiyandra dan mantan pengurus PSSI
lainnya, Tondo Widodo. Dalam waktu yang sama, Pak Djohar mengumumkan pengurus
lainnya, seperti Zulkifli Tanjung sebagai bendahara dan Husni Hasibuan sebagai
wakil. Dan untuk posisi koordinator bidang kompetisi Djohar menunjuk Sihar
Sitorus. Pada awal kepemimpinannya, beliau mencoba untuk merangkul lima
pengusaha untuk menjadi sponsor PSSI, mengingat sepak bola Ibu Pertiwi akan
dijadikan sebagai sebuah industri, tidak lagi berpangku tangan pada anggaran
yang diberikan pemerintah. Djohar membuat keputusan yang bisa dikatakan
sebuah keputusan kontroversi, beliau memberhentikan Alfred Riedl sebagai
pelatih Tim Garuda. Beliau memiliki argumen tentang keputusannya tersebut,
menurutnya, Riedl tidak terikat kontrak dengan PSSI, melainkan dengan Nirwan
Bakrie (mantan Waketum PSSI). Sebagai gantinya, Djohar menunjuk pelatih PSM
Makassar sebagai pelatih Tim Garuda, Wim Rijsberger. Pelatih berkebangsaan
Belanda ini tidak bekerja sendirian, beliau akan ditemani Rahmad Darmawan
sebagai asisten pelatih.
Tinggalkan PSSI, kita berangkat ke kasus mafia di
Ibu Pertiwi. Tahun 2011 sepertinya
menjadi tahun kabung bagi Ibu Pertiwi, pasalnya banyak sekali tragedi yang
terjadi. Tepat pada pertengahan tahun
ini Ibu Pertiwi kembali diguncang oleh kabar korupsi. Kali ini politisi
dari Partai Demokrat yang menjadi aktor korupsi dan penyogokan, dia adalah
Muhammad Nazarrudin. Nazarrudin adalah sosok yang mengemban peran penting di
parpol tersebut, beliau menjabat sebagai bendahara umum partai. Sebelum
menjabat sebagai bendahara umum Partai Demokrat, beliau berkecimpung di dunia
usaha, terbukti melalui empat perusahaan yang ditukanginya. Partai Demokrat
adalah partai politik kedua yang memayungi beliau, sebelumnya beliau pernah
melamar ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), namun beliau ditolak hingga
akhirnya Partai Demokrat menampungnya. Nazarrudin dipercaya oleh kapal untuk
membangun sebuah wisma atlet SEA GAMES di Jakabaring, Palembang. Beliau
bekerjasama dengan salah satu perusahaan yang beliau kelola, PT. Duta Graha
Indah. Pilihan yang jatuh kepada perusahaannya pun menuai curiga, pasalnya
Nazarrudin dan beberapa koleganya dicurigai melakukan aksi suap-menyuap kepada
pihak tertentu untuk menjatuhkan pilihan kepada PT. Duta Graha Indah. Rasa
curiga ini pun terjawab setelah melalui proses penyelidikan yang tidak mudah.
Benar dugaan bahwa Nazarrudin dan koleganya melakukan aksi suap kepada pihak
tertentu. Kejahatan Nazar pun tidak berhenti sampai di situ. Beliau menjadi
tersangka dalam kasus korupsi, jumlah uang yang dikorup beliau ditaksir
berkisar miliyaran rupiah. Saat ini Nazar diplot sebagai tersangka, namun tidak
bisa diadili karena kini beliau sedang “berlibur” dengan tempat yang tidak
diketahui dengan pasti.
Nazar masih melakukan komunikasi dengan salah satu
koleganya yang tidak ikut “berlibur”, beliau komunikasi dengan koleganya
melalui BBM (Blackberry Messanger) dan SMS (Sending Message Service).
Seharusnya pihak yang berwenang dapat menarik paksa Nazar untuk kembali ke Ibu
Pertiwi, melihat Nazar telah menggunakan dua media komunikasi. Dengan alat
teknologi yang serba canggih pada dewasa ini, seharusnya pihak yang berwenang
mudah melacak keberadaan Nazar sekarang, tapi hasil yang didapat adalah nol
besar! Sikap yang bertele-tele ini menuai curiga di kalangan penumpang Ibu
Pertiwi, para penumpang mencurigai pihak Partai Demokrat tidak bersikap tegas
kepada salah satu politisinya. Akan tetapi hal ini dibantah oleh sesepuh partai tersebut, Susilo Bambang
Yudhoyono. Beliau membentuk sebuah organisasi atau apa pun itu namanya untuk
memulangkan Nazar dari tempat persembunyiannya. Segala cara dilakukan hanya untuk
satu makhluk parasit ini.
Di tengah “liburan”nya, Nazar menyempatkan waktu
untuk memberikan informasi yang sangat penting ke seluruh penghuni Ibu Pertiwi.
Beliau mengatakan bahwa dia tidak bekerja sendirian, melainkan dibantu oleh
beberapa temannya. Dalam BBM, beliau menyebutkan Ibu Artis dan Pak Bali, kedua
panggilan tersebut beliau arahkan kepada Angelina Sondakh dan Wayan Koster.
Menurut beliau istilah ini diberikan oleh Anas Urbaningrum pada tahun 2010. Nazar juga menyeret nama
Wahid Muharam selaku Sesmenpora (Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga) dalam
kasus ini. Nama terakhir telah ditetapkan sebagai tersangka penyuapan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23
April 2011. Bahkan Nazar melibatkan Anas dan Andi Malarangeng dalam kasus
ini. Secara logika memang pas argumen
yang dilontarkan Nazar. Mungkinkah seorang pemimpin yang menjalankan tugasnya
dengan baik tidak mengetahui apa yang dilakukan anak buahnya? Namun baik Anas
atau Andi menolak dengan tegas tuduhan yang diberikan kepada mereka. Tentu
membuat para penumpang menjadi bingung, sehingga kepercayaan mereka kepada para
pemimpin dan wakil dengan pasti menurun. Sampai saat ini para pemimpin dan juga
wakil penumpang masih menyelidiki kasus suap dan korupsi yang melibatkan
sejumlah wakil penumpang di pemerintahan.
Satu lagi kasus mafia Ibu Pertiwi terungkap. Kali
ini melibatkan sejumlah nama yang bergerak di bidang hukum. Pemalsuan surat
Mahkama Konstitusi (MK) dilakukan oleh Andi Nurpati dan Mahfud MD yang menjabat
sebagai Ketua MK. Mereka mengaku sebagai aktor dan aktris dalam pemalsuan surat
MK tersebut, namun ada sutradara sekaligus produsernya, ia adalah Dewi Yasin
Limpo. Dewi meminta Andi dan Mahfud untuk membuat surat palsu tersebut lantaran
beliau ingin mendapatkan bangku di DPR. Akan tetapi langkah Dewi terganjal,
karena pihak MK mengatakan bahwa surat tersebut palsu. Menurut Mahfud, kasus
ini tidak akan menjadi heboh apabila Dewi tidak melaporkan MK kepada polisi.
Dewi Yasin Limpo adalah politisi dari Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura). Kabarnya beliau dipanggil oleh Panja Mafia Pemilu pada 7 Juli 2011 untuk dimintai keterangan
mengenai kasus pemalsuan surat MK. Panja Mafia Pemilu juga akan meminta
keterangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu
(Banwaslu). Informasi terupdate yang
penulis terima bahwa Dewi Yasin Limpo telah dijadikan tersangka dalam kasus
ini. Sungguh ironis bila melihat keadaan Ibu Pertiwi saat ini. Sebuah kapal
besar yang dikuasai para mafia. Para penegak hukum tidak lagi menegakkan hukum,
melainkan melemaskan hukum.
Jika pihak penegak hukum pun terlibat dalam kasus
mafia, lantas siapakah yang dapat diandalkan oleh rakyat Ibu Pertiwi? Kapankah
mereka sadar atas perbuatannya yang telah menyakiti nurani Ibu Pertiwi?
Tidakkah mereka melihat betapa banyaknya luka dan sakit yang ditanggung Ibu
Pertiwi serta para penumpang? Akankah Ibu Pertiwi bisa merayakan ulang tahun
yang ke-100? Siapakah yang akan menyelamatkan Ibu Pertiwi dari
hantaman-hantaman gelombang laut? Semoga engkau bisa merayakan ulang tahunmu
yang ke-100, Ibuku!
Masih banyak tragedi yang tidak diselipkan dalam
tulisan ini. Melalui tulisan tak bernilai ini, penulis mengharapkan sebuah
kemajuan yang besar dari masyarakat Indonesia. Kerinduan penulis, melihat Kapal
Besar Ibu Pertiwi bisa berlayar kembali dengan bendera kebanggaan yang berkibar
dengan gagah di atasnya, Merah Putih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar