Ibadah adalah jawaban manusia
terhadap panggilan Allah, terhadap tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa yang
berpuncak pada tindakan pendamaian dalam Kristus. Limited Worshipism adalah
sebuah istilah yang benar terjadi dalam konsep ibadah di Perjanjian Lama.
Ibadah nampaknya sama tuanya dengan manusia.
Pasal-pasal awal kitab Kejadian menyatakan tentang kurban yang dipersembahkan
oleh Kain, Habel dan Nuh. Kain dan Habel mempersembahkan kurban sebagai respons
kepada Allah atas segala kebaikan-Nya, dengan memberi berkat melalui ternak dan
tanah. Kurban Nuh adalah merupakan suatu pemberian kepada Allah yang telah
menyelamatkan dari kematian.
Tidak dapat disangkal bahwa ibadah memegang peranan
sentral dalam semua agama-agama di dunia ini. Tanpa ibadah, suatu agama akan
kehilangan hakekatnya. Melalui ibadah manusia mengadakan hubungan vertikal
dengan yang ilahi dan mewujudkan nilai-nilai rohaninya dalam kehidupan bersama
(horisontal). Jadi idealnya, ibadah menjadi ciri dimana manusia hidup dalam
relasi yang benar dengan Allah dan dengan sesamanya. Tetapi dalam praktek hidup
keberagaman rupanya ada kecenderungan bahwa ibadah itu dipahami secara sempit,
bahkan dapat dikatakan mengalami degradasi nilai dan berakibat pada dekadensi
moral. Ibadah hanya dipahami secara ritual atau dalam hubungan dengan
upacara-upacara keagamaan yang kadang-kadang lebih bersifat formal dan
legalistis. Ibadah hanya
berlaku dalam wilayah tempat-tempat suci tertentu, tidak mencakupi wilayah
kehidupan sehari-hari. Atau ibadah hanya dimengerti sebagai perkara-perkara rohani
saja, terpisah dari perkara-perkara jasmani? Tidak
mengherankan bahwa ada kesenjangan antara iman dan perbuatan, antara hal-hal
rohani dan hal-hal jasmani, antara kesalehan dan tingkah laku, antara ajaran
dan etika hidup dan lain-lain semacamnya. Semua masalah yang muncul di dunia
ini sepanjang sejarahnya, ketegangan-ketegangan politik atau ketegangan antar
bangsa atau golongan, konflik-konflik sosial, masalah-masalah moral dan
kriminal, konflik-konflik internal/domestik (dalam keluarga atau komunitas-komunitas
kecil) dan sebagainya, semuanya itu merupakan indikasi tentang pemahaman yang
sempit dan praktek-praktek ibadah yang
biasa (ibadah tidak dipahami dan dihayati secara benar dan utuh) dan akhirnya
bermuara pada degradasi iman dan krisis moral.
Dalam
makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan tentang dibatasinya pengertian
ibadah.
Pengertian
Kata
ibadah sebenarnya berasal dari kosa kata “äbodah” (bahasa Ibrani)
atau ibadah (bahasa Arab) yang secara harafiah berarti bakti, hormat, penghormatan
(homage) , suatu “sikap dan aktivitas“ yang mengakui dan menghargai seseorang
(atau yang ilahi). Atau dapat juga dikatakan suatu penghormatan hidup yang
mencakup kesalehan (yang diatur dalamsuatu tatacara), yang implikasinya nampak
dalam tingkah laku dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Jadi ibadah disini merupakan ekspresi dan sikap hidup
yang penuh bhakti (penyerahan diri) kepada yang ilahi, yang pengaruhnya nampak
dalam tingkah laku yang benar. Dalam kesaksian Alkitab ada beberapa kata atau
ungkapan yang dipakai untuk ibadah. Kata kerja äbad (Bahasa Ibrani)
berarti melayani atau mengabdi (seperti pengabdian/pelayanan yang utuh dari
seorang hamba kepada tuannya). Sedangkan kata àbodah (bahasa Ibrani), latria
(bahasa Yunani) berarti pelayan atau bisa juga berarti pemujaan dan pemuliaan.
Disamping itu kita juga bertemu dengan kata histaaweh (proskuneo ;bahasa Yunani) yang berarti sujud atau membungkuk atau
meniarap dihadapan tuannya. Jadi sebenarnya ada dua kata kunci dalam pengertian
ibadah itu, yaitu sikap hormat (pemuliaan) dan pelayanan (sikap hidup).
Dari
pengertian beberapa ungkapan di atas, menjadi jelas bahwa konsep dasar dari
ibadah adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya kepada Allah, yang dinyatakan
baik dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah laku atau tabiat
(jadi bukan hanya menyangkut hal-hal ritual yang bersifat formal legalistis).
Ibadah Era Perjanjian
Lama
Pada
awalnya kita menemukan adanya ibadah atau persembahan pribadi kepada Allah
(Kej. 4:4 Habel memberikan persembahan kepada Tuhan ; lihat pula, Kel. 24:26).
Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah merupakan ungkapan bathin
seseorang yang mengakui bahwa Allah berdaulat, penuh kuasa dan baik. Atau
ibadah adalah menunjukkan ketinggian spritual seseorang yang disertai ungkapan
pujian dan syukur kepada Tuhan, karena Ia patut disembah (bd. Ayub 1:20 ;
Yos. 5 :14). Harus dipahami bahwa Allah adalah Allah
yang transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari
ciptaanNya” juga merupakan Allah yang berkomunikasi dengan umat manusia. Allah
menerima penyembahan dari umat-Nya.
Pada waktu Allah memilih suatu bangsa bagi diri-Nya,
Allah juga memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu dengan TUHAN, jadi Dia memberikan ibadah tabernakel di mana Israel
dapat menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan
Israel (Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36).
Kemudian, pelaksanaan ibadah itu berkembang menjadi
ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai peletak dasar dari
ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Yahwe sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat
diorganisir di dalam Kemah Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai
“pelayanan suci” dari pihak umat untuk memuji Tuhan.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Kemah
Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi Israel.
Perkembangan ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan faktor
penting dalam kehidupan Nasional Yahudi. Bait
Suci dihancurkan oleh Babel, dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan
ibadah tetap dirasakan sebagai kebutuhan penting.
Disamping tempat ibadah, orang Yahudi juga memiliki kalender tahunan untuk upacara
agamawi. Diantaranya yang amat penting adalah : Hari Raya Paskah (Kel.
12:23-27), Hari Raya Perdamaian (Im. 16 : 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd.
Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari Raya Roti Tidak Beragi (Kel.12:14-20).
Pemimpin ibadah di Bait Suci dan Sinagoge adalah para
Imam. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan untuk tugas pelayanan
ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari Sabat dan pada Hari
Raya agama lainnya. Ibadah di Sinagoge terdiri dari : Shema, doa, pembacaan
Kitab Suci dan penjelasannya.
Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
agama, yakni perintah-perintah Tuhan (pbd. Ul.11:8-11). Jadi, pada hakekatnya
ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat
ibadah, akan tetapi adalah mencakup pelaksanaan kewajiban agama, seperti : sunat,
puasa, pemeliharaan Sabat, torat dan doa. Dengan demikian, ibadah juga harus
mengandung makna bagi hidup susila.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26; kel. 33:9-34:8). Tapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I Taw 29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari korba-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi. 6:6-8). Tapi banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur 93; 95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkanya untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ul 11:13) dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26; kel. 33:9-34:8). Tapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I Taw 29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah yang utama. Terlepas dari korba-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan, penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi upacaranya sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering memperlihatkan pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi. 6:6-8). Tapi banyak ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur 93; 95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkanya untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ul 11:13) dalam tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh.
Ibadah umum yang sudah demikian berkembang yang
dilaksanakan dalam kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda sekali dari ibadah
pada zaman yang lebih awal ketika para Bapak leluhur percaya, bahwa Tuhan dapat
disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk menyatakan diriNya. Tapi bahwa
ibadat umum di bait Suci merupakan realitas rohani, jelas dari fakta bahwa
ketika tempat suci itu dibinasakan, dan masyarakat Yahudi terbuang di babel,
ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk memenuhi kebutuhan itu
’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari:
1. Shema’
2. Doa-doa
3. Pembacaan Kitab Suci
4. Penjelasan
Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua
kebaktian-kebaktian harian, sabat, perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa,
serta pujian dan buku puji-pujian memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan
faktor amat penting dalam kehidupan nasional Yahudi.
Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa ibadah secara
mendasar adalah merupakan satu respons sebagai pribadi atau sebagai jemaat
kepada perbuatan Allah yang Mahatinggi. Pola ini dapat ditemukan di dalam
Alkitab sebagai berikut; Allah yang Mahakuasa bertindak atas nama umat Allah;
umat Allah berespons dengan ucapan syukur dan pujian; Allah menerima tindakan
ibadah mereka. Pola ini secara konsisten dapat ditemukan di dlam seluruh bagian
Alkitab, dengan titik pusat kebenarannya adalah di dalam ibadah, Allah adalah
inisiator. Atau dengan kata lai, ibadah adalah satu respons manusia kepada inisiatif
Allah.
Ekspresi ibadah dalam Perjanjian Lama dapat ditemukan
dalam kisah pemanggilan Abraham sebagai Bapak bangsa-bangsa. Panggilan Abraham
disertai janji-janji berkat Allah seperti kemasyuran, pengaruh, keturunan dan
pemilik tanah. Sebagai respons Abraham terhadap janji-janji ini, Abraham
menyembah Allah dengan membuat mezbah (Kej. 12:7-8; 13:18). Dan mempersembahkan
kurban (Kej. 15:1-11; 22:13-14). Kemudian juga ketika Nuh keluar dari bahtera
setelah Air Bah tindakan pertamanya adalah membangun mezbah dan beribadah
kepada Tuhan (Kej. 8:20) ini merupakan catatan pertama di Perjanjian Lama
tentang ibadah kepada Tuhan melalui korban penumpahan darah di atas mezbah.
Persembahan korban bakaran kemudian dinyatakan sebagai korban persembahan (Im.
1:1-7). Selanjutnya dalam kisah keluarnya bangsa Israel dari Mesir, ibadah
mejadi dasar dan sebagai blueprint untuk semua bentuk ibadah masa depan. Allah
menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan adalah peristiwa penting dalam
Perjanjian Lama. Inilah salib dan kebangkitan dalam Perjanjian Lama yang
digenapi di dalam Perjanjian Baru. Keluaran telah memberikan kepada Israel
beberapa jalan untuk beribadah kepada Allah. Ekspresi utama termasuk
mempersembahkan korban binatang pada Paskah (Kel.12:1-28), mempersembahkan
semua yang sulung atau pertama lahir kepada Tuhan menjadi milik Tuhan
(Kel.13:1-2), dan menyanyikan puji-pujian dengan sorak sorai dan penuh
kemenangan yang dipimpin oleh Musa dan Miriam (Kel.15:1-21).
Di Gunung Sinai Allah menentukan tiga hari raya yang
harus diadakan dalam rangka mempersembahkan ibadah kepada Allah setiap tahun.
Pertama, hari raya roti tidak beragi, kedua, hari raya menuai dan ketiga, hari
raya pengumpuan hasil (Kel.23:14-19). Perintah ini telah tertanam di dalam
kesadaran umat Tuan bahwa ibadah melibatkan pengertian waktu yang kudus.
Kemudian pertemuan Allah dengan Musa, Harun, Naab dan
Abihu an tujuh puluh tua-tua Israel di Gunung Sinai (Kel.24:1-8) adalah bagian
penting. Ini adalah pertemuan antara Allah dan Israel. Pertemuan ini berisi
struktur elemen-elemen dasar bagi pertemuan antara Allah dan umat-Nya.
Elemen-elemen ini sangat penting bagi ibadah umum, yang kemudian akan
ditentukan detailnya dalam ibadah Yahudi dan Kristen. Selanjutnya Webber
mengemukakan ada lima elemen, yaitu:
Pertama, ibadah adalah
pangilan Allah. Allah yang memanggil umat-Nya untuk bertemu dengan-Nya;
Kedua, Umat Tuhan diatur dalam satu tanggungjawab
terstruktur. Artinya ada yang bertanggungjawab. Musa adalah pemimpin. Tetapi
untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya adalah tugas Harun, Nadab, Abihu. 70
tua-tua Israel, pemuda dan umat. Dengan kata lain, elemen kedua adalah soal
partisipasi dalam ibadah;
Ketiga, pertemuan antara Allah dan Umat bersifat proklamasi
Firman. Allah berbicara kepada umat-Nya dan memperkenalkan diri-Nya kepada
mereka. Hal ini berarti ibadah belumlah lengkap tanpa mendengar Firman Tuhan;
Keempat, umat setuju dan menerima perjanian dengan
syarat-syaratnya yang memberi makna kepada komitmen umat secara subjektif untuk
mendengar dan taat kepada Firman Allah. Dengan kata lain, aspek penting dalam
ibadah disini adalah pembaharuan komitmen pribadi secara terus-menerus. Di
dalam ibadah umat Tuhan membaharui janji yang telah ada antara Allah dan
umat-Nya sendiri;
Kelima, puncak hari pertemuan itu ditandai dengan symbol
pengesahan, satu materai perjanjian. Dalam Perjanjian Lama Allah selalu
menggunakan darah korban sebagai materai hubungan-Nya dengan manusia.
Pengorbanan ini menunjuk kepada korban Yesus Kristus.
Dengan demikian Allah adalah pusat ibadah Perjanjian
Lama. Umat Tuhan atau manusia beribadah adalah sebagai respons dalam ucapan
syukur kepada karya Allah di dalam hidup manusia.
Kesimpulan
Allah sendirilah yang membuat ibadah dimungkinkan ada.
Dalam anugerah-Nya, Ia mengundang penyembahan manusia tertuju kepada -Nya.
Ibadah selalu berfokus tunggal yaitu ketika Allah bertindak menyatakan
kasih-Nya kepada kita dan Ia jugalah yang mendorong tanggapan kita atas semua
pernyataan kasih-Nya.
Ibadah adalah jawaban manusia terhadap panggilan
Allah, terhadap tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa yang berpuncak pada
tindakan pendamaian dalam Kristus. Ibadah adalah kegiatan puji-pujian dalam
penyembahan yang mensyukuri kasih Allah yang merangkul kita dan kebaikan
kasih-Nya yang menebus kita dalam Kristus, Tuhan kita.
Ibadah adalah suatu
‘bakti’ dan persembahan kepada Allah. Persembahan yang dinaikkan bukan sekedar
ritus batiniah tetapi persembahan yang juga dihaturkan dari tengah pergumulan
kehidupan sesehari yang nyata. Pengudusan manusia oleh Allah dan pemuliaan
Allah oleh manusia, keduanya merupakan karakteristik dalam ibadah. Ibadah yang
sejati tidak hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan. Atau sebatas misalnya
pergi ke gereja, ikut persekutuan ini dan itu. Betul, semua itu adalah ibadah.
Namun tidak hanya sebatas itu. Ibadah yang sejati juga menyangkut kehidupan
sehari-hari, kapan saja dan di mana saja. Dan
yang menjadi pusat ibadah adalah Allah.
Daftar Pustaka
Cronbach, A. Worship
in Old Testament. Nashville:
Abingdon Press, 1982.
Douglas, J. D. Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini. Jakarta:
YKBK/OMF, 2004.
Basden, Paul. The
Worship Maze. Illionis:
Inter Varsity Press, 1999.
Enns, Paul. The
Moody Handbook Of Theology: Buku Pegangan Teologi. Malang: Literatur SAAT, 2006.
Webber, Robert E. Worship
Old & New. Michigan:
Zondervan Publishing House, 1982.
Dyrness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian
Lama. Malang: Gandum Mas,
2004.
Lalu bagaimana dengan batasan ibadah pada masa perjanjian lama? Bukannya itu merupakan batasan manusia untuk beribadah kepada Allah?
BalasHapusBatasan yang dimaksud adalah aturan dalam beribadah, karena ketika itu belum ada aturan yang pas.
Hapus